secangkir kopi:
SALAH satu
kebiasaan gue waktu SMA adalah nongkrong, udah biasa sih di zaman serba canggih
ini anak muda mengatur rencana.
Tapi,
yang gue tongkrongin adalah bukan sembarang tongkrongan, agak sedikit kurang
ajar.. eh, maksudnya kurang kerjaan. Nonton balapan secara langsung. Emang
kelihatan biasa-biasa aja nonton balapan secara langsung, kebanyakan orang
nonton balapan di sirkuit yang tersedia bangku penontonnya. Dan gue dengan
teman seperjuangan gue nonton secara langsung dan dekat yaitu di pinggir trotoar.
Jadi, antara penonton sama pembalab punya chemistry
atau hubungan yang dekat. Kayak PDKT ya, mau nonton aja ribet. Jadi gue bisa
melihat dengan jelas siapa yang balapan.
Gue
berpikir, saking dekatnya pembalab sama penontonnya, seandainya pembalap itu
lepas kendali atau kemasukan jin kemudian jatuh, lalu tersungkur ke pinggir
trotoar bersamaan dengan motornya dan menghantam kami semua yang nonton di
trotoar, ntah bagaimana nasib gue. Mungkin gue udah kaya di film Final Destiantion, asik-asik nonton balapan kemudian penonton kacau balau
untuk menyelamatkan diri hanya karna besi bangku penontonya lepas kemudian satu
persatu mati, ada yang ketusuk besi, ada yang kepalanya bocor dan sebagainya.
Sedangkan gue yang secara dekat melihat pembalapnya keliling-keliling udah
kelabakan.
Memang terlihat
kurang kerjaan tapi mau bagaimana lagi, namanya juga Young Boys.
Teman sekelas gue Agus, dia memang pecinta otomotif &
dia suka dunia balap. Setelah pulang sekolah biasanya gue mampir ke kosanya
hanya untuk menanyakan apa rencana nanti sore.
Kebanyakan siswa siswi SMA kerumah temanya untuk
menanyakan pelajaran tadi siang atau belajar kelompok, sedangkan gue dengan
segenap kerjaan bodoh gue (bareng temen-temen) kerumah Agus untuk nonton
balapan doang.
‘gimana
bung rencana kita nanti sore’ tanya gue
‘biasa...
nanti sore kita ke sirkuit’ jawab dia santai dengan wajah sumringah
‘nonton
balap lagi ?’ tanya gue yang kali ini pura-pura bodoh
‘ya
iya lah, masak mau jualan tahu.’
Memang sih di dekat sirkuit itu ada orang jualan tahu
sumedang, kadang kalo lagi banyak duit biasanya patungan buat beli tahu kosong
itu, kalo gak ada duit ya..... Paling kenyang makan asap knalpot pembalab.
‘oke deh.. Jam berapa
‘biasa..
Jam 4 atau jam 5 sore kita kumpul di sirkuit’ jawab dia humor.
Sesaat motor gue udah hidup Agus memanggil lagi, kali ini
suara gue dengan agus bertarung dengan suara motor gue.
‘BUUUUUUUNGGG’
(nggreengeeeennggeeenrennngggeenn) jerit
dia
‘APAAAAN
LAGIII’ jawab gue yang agak sedikit sewot
‘jangan
lupa hubungi yang lain’
‘IYAAAAAA’
jawab gue meskipun apa yang dia bilang tadi rada-rada gak jelas karna suara
motor gue.
Yang jadi pertanyaan gue adalah ; kenapa gue kayak
terhipnotis untuk melakukan beberapa aktifitas kurang kerjaan seperti nonton balapan
?
Apa mungkin Agus belajar sama Romi Rafael atau
bersemedi di sirkuit dengan tujuan agar orang-orang mau jadi pengikut setianya.
Dan pertanyaan yang menjadi kontroversi adalah ; apa hasilnya dari nonton
sebuah motor yang dipacu sekencang mungkin (baca;balap). Pada umumnya siswa
yang rajin itu kutu buku, siswa yang aktif kutu majalah, siswa yang baik kutu
koran dan siswa yang dungu kutu babon.
Sebenarnya
gue udah agak malas mau nonton balapan, bukan karna gak asik lagi. Kalau mereka
tau alasan yang sebenarnya kenapa gue gak mau ikut, mereka pasti bakal ngamuk
ke gue karna nggak mau ngumpul bareng lagi, jadi dengan terpaksa akhirnya gue
bangun dari tidur siang gue. Sekitar pukul 4 sore gue langsung cabut dari rumah
menuju kosanya si Agus.
Setelah gue nyampe ke kosanya Agus, beliau langsung
nanya. Mungkin karna gue datang sendirian ke kosanya jadi dia bertanya mengapa.
‘mana
yang lain?’ tanya dia yang kali ini agak sedikit murung.
Dengan santai gue menjawab ‘tenang bentar lagi datang
kok’.
Ya ternyata benar, ia datang temen gue yang satu ini gila
otomotif juga sama kayak bapaknya (baca;agus). Opik yang kurang lebih mirip
tiang listrik di belah dua, yaa... saking kurusnya dia. Dengan lawakanya yang
khas, suaranya yang simpang siur dan segenap kerusuhanya datang bagaikan raja
turun dari angkong..... (emang ada).
‘buuunnggg
guntur’ sapa dia dengan wajah yang penuh humoris
‘bung
opik’ jawab gue ‘kemana kita sore ini?’
‘biasaahh’
sambil ketawa ringan, dan gue sempat menyambar pembicaraanya dengan sebuah nyanyian
ngaco.
‘biasssaah.....
biasssssah.... biasssssah.... seluruh tubuh ku’
‘BAASSSAAAAHHHBUUUUOOOODDOOOOOH’
sewot dia.
Memang kami terinspirasi dengan lawakan yang identik
dengan plesetan kata seperti itu, karena, pada zamanya memang sangat ngetren,
sampai-sampai kalo plesetanya makin tambah ngaco makin bertambah pula peluang
untuk kena bogem mentah. Misalnya.
‘bung
lo punya banyak kuku gak?’
‘banyak,
nih ada sepuluh di tangan, sepuluh di kaki’.
‘hm...
gue pinjam satu ya?’
‘buat
apa?’
‘buat
baca-baca, kan kuku jembatan ilmu
‘ITU
BUKU EEDDDAAANN.’
Itu gue anggap sebagai salam persahabatn, kalo gak
ngelawak gimana gitu. Gue jadi ingat penggalan film Final Destination. Yang
berbunyi ‘Everyday, Everytime and Everywhere dead will surround
you’. Kalo versi gue ‘Everyday, Everytime and Everywhere jokes will surround me.
Setelah beberapa lama ngelawak, gue berangkat menuju
sirkuit guna melihat orang yang memacu kendaraan dengan kecepatan edan.
Sesampai di sirkuit gue ngerasa ada yang aneh sama perut
gue, atau mungkin usus gue berantakan atau ntah lah yang penting sakitnya luar
binasa.
Sebagai sahabat yang tauladan gue mencoba konsultasi
dengan Agus bak pasien dengan dokter spesialis. Gue menyapa dengan segenap sisa
tenaga gue.
‘bung.....perut
gue kok “broobbbbbbooootttoorrrrrrrrrrtt” sakit ya?’ tanya gue dengan suara
perut bergemuruh.
‘kok
nanya ke gue’ sambil merengut sewot.
Gue coba ingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi sama
perut gue. Apa gue habis berkelahi sama Iko
Uwais, atau lupa pup tadi pagi.
Sebelum gue berangkat pergi ke sirkuit gue baru ingat, gue pulang dari sekolah,
lepas baju seragam, sholat, tidur, dan bangun langsung kekosan Agus. Setahu gue
kalo orang baru bangun tidur pasti mengeluh karena satu hal yaitu... Lapar.
Itu yang terjadi pada gue yang lupa makan siang, gue
mencoba kejutkan Agus dengan satu pukulan ke pundaknya.
“BEDEPPPEEEEK”
secara refleks gue pukul pundaknya karena ingat akan sesuatu.
“ADDUUUHHHH”
‘sakit panjul.’ Gumam dia
‘gue
baru ingat, gue lupa makan siang’
‘emang
harus gebuk punggung segala?’ tanya dia sewot
‘hehe...
sori bung refleks’ jawab gue cengengesan. Sebagai sahabat yang tauladan Agus
mencoba memberi saran agar Darwis membawakan makanan untuk gue.
‘ya
udah SMS Darwis aja suruh bawa makanan, kalo nonton balapan gak ada cemilan gak
enak juga’
‘oke
deh’ sahut gue dengan wajah setengah melas.
Sekian lama menunggu Darwis datang, perut gue makin
menjadi sakitnya, kali ini perut gue udah kronis manis paris parang tritis.
Takutnya gue bakal kemasukan jin Sumanto dan memakan Agus
yang badanya gemuk penuh dengan daging.
Tapi sudah
berulang kali gue hubungi Darwis, tak lama kemudian beliau pun datang, dan gue berharap musibah ini berubah menjadi
sebuah anugerah dengan datangnya pahlawan kesorean gue yaitu Darwis. Tentu
sebagai sahabat yang tauladan, gue menanyakan pesanan gue yang gue pesan via
SMS.
Seolah-olah
pengemis gue bertanya ‘mana makanan gue?’
‘makanan
apa?’ yang malah bertanya balik.
Disini gue udah mencium aroma penghianatan, ntah Darwis
begitu dendam sama gue atau hutang gue bulan lalu belum gue bayar, ia seolah-olah
enteng tanpa dosa menjawab pertanyaan gue tadi.
‘kan
gue udah berulang kali SMS lo’ protes gue
‘SMS
apa... lo gak SMS gue kok’ jawab dia enteng, kemudian tiba-tiba tangan kanannya
bergerak menuju saku kanannya, guna untuk mengecek HandPhone dan alhasil.
Ternyata SMS yang gue kirim gak sempat di baca Darwis karna lagi dalam
perjalanan menuju sirkuit.
‘eh
iya bung ada SMS, sorry ya gak sempat di baca, tadi lagi dalam perjalan’
hehe..... cengengesan dia seolah tak terjadi hal yang serius.
Ini yang gue sebut dengan sahabat yang tauladan,
kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.
Secara refleks gue kecewa. “TIDDDAAAAAAAKKKKK”. jerit
hati gue.
Kenapa disaat gue udah hampir mati kelaparan dia masih
enjoy-enjoy aja. Oh Darwis kawan macam apa kau.
Gue coba tepok-tepok perut gue guna untuk mengecek cacing dalam perut gue.
Seandainya gue bisa bicara sama cacing perut, gue akan bilang “CARI PERUT ORANG
LAIN AJA, GUE ORANG SUSAH GAK BISA MAKAN YANG ENAK-ENAK”.
Kenapa disaat gue udah hampir kemasukan jin Sumanto, dia
enjoy aja sedangkan perut gue sudah kronis.
‘ya udah
kalo gitu, kita patungan beli tahu Sumedang’ sambar dia dengan wajah yang masih
cengengesan.
Tak lama kemudian tangan Agus bergerak menuju saku
kanannya. ‘nih...gue 5000 sahut dia.’
Begitu senang hati ini melihat temen-temen gue peduli
terhadap sesama, mereka juga mau rela berkorban demi gue. Gue berasa kayak main
sebuah film dengan peran anak yang kelaparan. Ah... gue gak peduli, yang
penting perut gue berisi, yaa.... paling tidak ada sedikit ganjalan buat perut
gue. Meskipun Opik gak ikut nyumbang buat beli tahu, gue rasa dia lagi diet
saking kurusnya dia. Haha... itulah teman, kadang bikin senang, bikin pusing,
bikin rumah, bikin pesawat, (emang temen gue ilmuan).
Ya itulah gue, dengan beberapa keseharian yang rada-rada
busuk, tapi gue lakuin itu dengan ikhlas karna gue lakuin bersama teman gue.
Iya gue serius, saking selalu bersama, pernah suatu
kejadian Opik dan Darwis pergi ke toilet bersama.
Waktu
itu (kalo gak salah) musim hujan, gue emang gak ikut sih waktu ke toilet
bareng, ntah apa yang mereka berdua pikirkan sampai-sampai ke toilet pun
bareng. Temen sih temen tapi gak gitu juga kale.... gue curiga waktu itu kalau
mereka bakal tukaran boxer atau mungkin karena celana abu-abu mereka kecil jadi
mau di benahi di tolet sekolah. Dan ntah apa yang dipikirkan oleh sang Opik
tiba-tiba beliau menjadi mayau dan... “CELLLLEEEPPPPPEEEKKKK” bunyi sepatu yang
masuk kubangan lumpur selokan depan toilet sekolah, yang baunya sebelas
duabelas sama toilet sekolah. Dan alhasil kaki yang memang tertutup oleh sepatu
putih, kini berubah warna menjadi hitam kecoklatan, dan tentu saja.... Bau.
Ya sebagai sahabat yang tauladan, Darwis pun tertawa
terbatuk-batuk, ya terbatuk-batuk, karna dia sudah tua dia tertawa bagaikan
penjahat yang sukses mengalahkan musuhnya.
“HAKHAKHAKHAKHAKHAKHAKHAK”. Gue rasa ini pembunuhan
karakter secara tiba-tiba, masalahnya setelah Darwis puas tertawa terbatu-batuk,
ternyata tertawa itu berlanjut di dalam kelas. Bagaimana tidak, selokan yang
super bau itu masuk kelas. Dan sebagai sahabat yang tauladan, Darwis pun
mengadukan insiden ini kepada teman sekelas.
‘wwhhhhooooyyyyy
bau apa ini, kaya bau got’ sambil setengah tertawa ia mengadukan insiden ini.
Dan sebagai teman yang baik, seisi kelas pun berubah suasana dari ribut nan
rusuh menjadi hening.
Banyak yang memasang wajah suram, ada yang secara refleks
tutup hidung, ada yang memasang wajah jijik dan tentu saja ada yang tertawa.
Gue
tau banget gimana cara opik menyelesaikan masalah ini. Bagi dia masalah ini
hanya sebesar kotoran cicak, bahkan lebih kecil lagi. Caranya hanya memutar
balikan fakta. Emang agak Ironis tapi, itulah Opik itu sudah menjadi ciri khas
beliau. Sudah terlihat jelas dia tertimpa musibah, tapi pura-pura tidak tau.
Sebagai contoh ketika insiden ini terjadi , lagi-lagi
Darwis menjerit.
“WHOOOOYYYYY
OPIK BAUUUUU GOOOTT”
“IYA
YA... BAU APA INI, KAYA BAU KOTORAN” jawab opik yang setengah mengendus-endus.
Gue rasa hidung opik sudah mati rasa, mencium baunya
sendiri saja harus memutar fakta.
Sama halnya dengan nonton balap, semua rencana bodoh yang
tak terdeteksi pun kami lakukan dengan
judul masih dengan kebersamaan. Setelah membeli makanan buat gue yang hampir
mati kelaparan, Darwis mencoba menyetorkan nyawanya dengan nekat ia ingin ikut
balapan.
‘ah....panas
gue, gue mau turun dulu’ dengan lantang dan berani ia naik motornya. Tentu saja
sebagai sahabat yang tauladan, kami pun mencoba melarangnya di mulai dari Agus.
‘jangan
bung...bentar lagi UAN’ cegah Agus. Memang waktu itu (kalau gak salah) seminggu
sebelum UAN. Ya gue sebagai sahabat yang
tauladan mencoba mencegah perbuatan Darwis.
‘janganlah
bung besok UAN kita nonton aja’ cegah gue dengan wajah memohon
‘gak
apa-apa, nanti speedometer nya gue
sisain 10 km/jam’.
Dengar darwis ngomong gitu, yang katanya dia mau nyisain
speedometernya 10 km/jam aja, gue sempat termenung. Dengan badan yang
cingkrung, dia mau ngebut dengan nyisain 10 km/jam aja, jika kecepatan motornya
250 km/jam dan dia mau ngebut dengan nyisain 10km/jam aja, berarti dia ngebut
dengan kecepatan 240km/jam dan dia akan mati jika dengan kecepatan kilat itu.
Tapi gue yakin sama dia, karna udah berapa kali nyium aspal sekarang dia udah
dinobatkan menjadi avatar (pengendali
angin). Ya karena udah berapa kali nyium aspal,berat motor tidak seimbang
dengan berat badan alhasil... kecelakaan.
Dan gak lama kemudian, Darwis pun menghidupkan motornya
yang siap turun dengan suara knalpot yang membahana badai pun berkumandang.
Jujur gue sempat nelan air ludah, grogi, ngupil dan sebagainya karena sebentar
lagi mau UAN, gue gak habis pikir aja kalo Darwis bakal ujian dengan tangan
tertutup perban karena patah tangan, kaki tertutup perban karena patah kaki,
wajah tertutup perban karena patah wajah. Gue pikir ah... gue percaya aja sama
kemampuan dia, paling kalo mati ya tinggal di kubur abis perkara, jangan di
ambil pusing. Gue berharap Darwis gak terbang dari tungganganya dengan badan
yang cingkrung dan kecepatan yang katanya mau nyisain 10km/jam aja di speedometernya.
Dan
pada akhirnya, balapan pun dimulai. Seperti di film-film balap, kami pun
menyorak sang pembalap, tapi kali ini dilakukan dengan tidak menjerit karna...
Malu. Soalnya rame hehe.
Kalo gue sih berharap dia menang dan bisa lulus dari SMA
‘ayoo
buuung, kalo menang gue doain lo lulus’ jerit pelan gue yang memang pada waktu
itu kalo orang sedang melakukan hal yang baik, gue selalu doain mereka ‘semoga
lulus ya’ dan balapan termasuk hal yang baik juga lo.
Balapan pun dimulai dengan beberapa harapan cemas dan
saking tegangnya keadaan, sampe nahan kentut segala. Semuanya berbaris untuk
mengambil start. Dan .... ternyata tebakan gue benar dia memang menang di start
dan harapan kami bersama adalah dia harus menang.
‘wuuuuiiiii
liat, Darwis menang di start’ sambar Agus
‘start
udah menang, tinggal finishnya aja lagi’ keluh opik dan langsung gue sambar
dengan kata-kata berupa motivasi.
‘ya
liat aja nanti, soalnya lawanya juga kencang tu motornya’.
Setelah lewat di start kami memang gak ngelihat lagi
kelanjutanya, sisanya gue serahin sama tuhan dan Darwis sendiri, karna memang
sirkuitnya banyak pasir dan itu yang gue cemaskan sebagai sahabat yang
tauladan. Setelah kami mendengar suara raungan knalpot motor, gue berharap yang
datang dari kejauhan adalah Darwis karena perjanjianya hanya satu putaran saja,
tapi ternyata bukan Darwis yang datang, melainkan pembalap lain yang menjadi
lawan sang Darwis. Gue masih nunggu Darwis belum muncul-muncul juga, jangankan
batang hidungnya, rambutnya aja gak kelihatan. Ya iya lah, orang dia pake helm.
Setelah berharap munculnya sang pembalab, kami pun
sempatcemas juga.
‘whhoyy
Darwis mana, kok gak kelihatan wadduuuhh’ cemas Agus
‘ah
palingan takut sama tikungan’ sambar Opik dengan wajah santai, gue rasa argument
Opik ada benarnya juga, emang sih tikunganya ngeri melihat Opik yang santai
aja, gue ngikut suasana dia aja, Darwis juga berpikir kalo seminggu lagi bakal
UAN dan dia pasti takut nikung, haaa disini gue agak lega sedikit. Sejenak gue
bisa santai dulu dan ternyata benar apa kata kolega gue, Darwis Cuma takut
nikung. Lega hati gue rasanya gue gak perlu repot-ngepot kerumah sakit buat
jenguk dia nanti. Dan gak lama kemudian Darwis pun datang menghampiri kami di
trotoar dengan wajah setengah lesu.
‘whhaaaaayyyyyy
gila tikunganya kayak setan, ngeri gue’ curhat dia
‘tuuuh
kan bener apa kata gue, pasti takut nikung’ sambar Opik
‘jiiiaaaaaahhhhhhhh
yang ginian aja lo gak bisa cemen lo’ keluh Agus.
Melihat Agus ngeluh, gue jadi ingat apa kata dia tadi
sebelum Darwis turun ke sirkuit.
“jangan bung...bentar lagi UAN” sesudah balapan Agus
berkata “jiiiaaaaaahhhhhhhh yang ginian aja lo gak bisa cemen lo”.
Kampret gue kira Agus bakal ngasih nasihat supaya jangan
dilakukan lagi, tapi malah memberikan hinaan. Ketika Darwis hendak berangkat
balapan, semua menghawtirkanya karena kami tau kalau Darwis naik motor kaya
gimana apa lagi menjelang UAN. Tapi setelah Darwis selesai balapan dan kalah,
semua menghinanya caci makian pun datang menghampiri satu persatu. Dan gak
habis pikir kalau dia mati karena balapan, mungkin dia bakal dapat ucapan bela
sungkawa.
Dasarlah omongan manusia gak bisa di pegang, tapi apapun
itu mereka adalah sahabat yang luar biasa. Luar biasa stress nya, luar biasa
gilanya, luar biasa sintingnya.
Dan
gue berharap kebersamaan ini akan berlanjut sampai gue tua nanti. Setidaknya
sampai perut gue mengecil. Jangan dilihat dari kegiatanya, tapi lihat
kebersamaanya, yang kami lakukan hanya sekedar hiburan belaka, namun masih
terkendali. Menurut gue, lakukanlah apa yang bisa membuat lo bahagia, baik itu
bersama sahabat atau tidak, bersama keluarga atau tidak dan bersama pacar atau
tidak. Karena manusia punya hak untuk bersuka ria, dan apa yang kita lakukan
tidak merugikan kita dan orang lain. Dan mereka semua adalah Sahabat yang
Tauladan.