SEMUA hal yang
gue lihat yang bersifat positif itu adalah istimewa, kebanyakan orang sejak
mereka kecil sudah tau apa cita-cita mereka. ketika guru bertanya.
‘Apa
cita-cita kalian anak-anak’ lalu ada yang menjawab
‘Polisi
bu’
‘Guru
bu’
‘Pemain
sepak bola bu’.
Tentu dengan kepolosan mereka sebagai anak kecil. Tapi
gue harap anak-anak sekarang tidak terpengaruh terhadap sinetron. adek gue yang
paling kecil, karena gue udah kebanykan adek, gue lupa adek gue yang mana.
Kadang ada orang lewat gue bilang ‘Lo adek gue bukan’.
Sebagai
abang yang baik, gue tanya apa cita-cita dia, mengingat dia masih kecil.
‘Adek’
panggil gue
‘Apa
bang’ jawab dia setengah mengendus karena ingusnya yang mengucur.
‘Adek
besok besar mau jadi apa’
‘Jadi
tukang bubur bang’ jawab dia santai
‘Loh
kok tukang bubur’
‘Iya
bang, supaya bisa naik haji’. Mulut gue menganga dengar jawabanya, padahal gue
mau bilang ‘Kenapa nggak jadi tukang foto copy aja’. karena pada saat itu, ada
nyokap gue datang lalu gue urungkan niat gue untuk bertanya itu. Kalau gue
terusin, takutnya nyokap bakal bilang ke gue ‘Kecil sekali cita-cita kamu tur
jadi tukang foto copy’ atau ‘Kenapa kamu nggak buka usaha foto copy dan alat
tulis kantor’.
Itulah
yang terjadi sama gue, sejak kecil cita-cita gue adalah pemain sepak bola,
karena menjanjikan. Tapi sebenarnya, gue adalah orang yang termasuk banyak
mempunayai cita-cita. Gue orang yang gak bisa fokus, ketika ada hal yang
menarik, gue pengen ikut mencoba dan ketika ada hal lain yang menurut gue asik,
gue pengen ikut mencoba juga.
Karena
gue sering nonton acara sepak bola, gue pengen jadi seperti mereka dan gue udah
berusah dari mulai ikut seleksi kecamatan, hingga jadi pemain sekolah. Dan
ternyata belum berhasil, meskipun nyokap sering bilang ‘pemain bola yang
namanya Guntur belum ada loh’.
dan gue anggap itu motivasi.
Nggak
cukup gue gaggal, ternyata kakek gue malah nggak setuju. hal tersebut terlihat
saat gue mau pergi latihan, saat itu gue sedang siap-siap dengan jersey gue,
sepatu dan sarung tangan (karena gue penjaga gawang). Sebagai cucu yang baik,
gue pamitan guna mendapat restu dari nenek.
‘Mbah,
aku pergi latihan ya’ jerit gue dari kamar
‘Iya
hati-hati, jangan pulang kesorean’ jawab nenek dan tiba-tiba kakek memotong
pembicaraan.
‘Mau
kemana dia’ tanya kakek
‘Main
bola’ jawab nenek yang waktu itu baru selesai mencuci piring
‘Main
bola terus, nanti motor itu rusak kalau rusak perlu biaya’ kesal kakek gue.
Gue nggak tau apa yang dipikirkan oleh sang kakek
sehingga beliau masih semapt-sempatnya bicarain soal motor.
Gue
berharap waktu itu kakek bakal bilang.
‘Iya,
hati-hati ya. Salam buat pelatihnya’. Tapi ternyata dia bilang.
“MAIN
BOLA TERUS, JADI PEMAIN NGGAK JUGA”.
Gue tertegun, gue udah sempat mau banting motor dengar
kakek gue bilang gitu. Ocehan kakek seolah tertutupi dengan suara hentakan
sepatu gue yang menghentak keramik rumah. Gue berusaha sabar, gue lanjutin apa
yang seharusnya gue lakukan. Gue udah naik pitam, gigi atas dan gigi bawah
sudah bergesekan seolah menunjukan kegeraman dan bibir pun manyun lima senti.
Setelah
gue anggap sepak bola gagal, gue nggak patah semangat, gue cari kegiatan lain
yang kira-kira bisa gue jadiin cita-cita. Dan ketemulah yang namanya sulap. Awalnya gue sering nonton acara
sulap gue perhatiin ini menarik untuk di lakukan, dan akhirnya gue belajar
sulap. Gue pergi ke toko buku dekat rumah gue setelah dapat info dari teman gue
kalau di sekitar sini ada jual buku sulap. Dan gue beli beberapa buku sulap dan
gue pelajari semuanya. Tapi nyatanya gue cuma terkenal di komplek rumah gue
aja, bahkan kalau ada anak kecil lewat dia selau bilang ‘Bang, sulapnya dong
bang’. Gue udah kayak pak Tarno, di gandrungi oleh anak-anak kecil. Bahkan ada
anak kecil yang datang menghampiri gue sambil berkata ‘Ayo abang, kita tukaran
trik sulap’. yang paling kesal pada saat mau nunjukin trik, mereka nggak ada
kagum-kagumnya.
Seolah
pesulap profesional gue berkata ‘Lihat tangan saya’
‘emang
kenapa tangan lo’
‘gue
punya koin bisa tembus’
‘oh,
mau sulap ya. Bilang dong dari tadi’.
Gue lesu, melihat teman gue nggak sadar kalau gue mau
sulap. Mendengar respon seperti itu, gue urungkan niat gue. (malang).
Setelah
sulap gue anggap gagal, gue coba cari hal lain seperti bermain playstation,
atau nongkrong bareng teman-teman alay yang setiap sore di depan kantor yang
sudah tutup lalu mendirikan motornya dengan posisi yang sama berjejer kurang
lebih kayak sorum motor bekas.
Hal
seperti ini gue lakukan pada saat gue nganggur setahun, pasca lulus dari SMA.
Gue coba cari kegiatan saat gue terjebak dalam kolesterol tinngi.
Pada
saat gue masih dalam kejayaan dalam status pengangguran, kakek gue masuk rumah
sakit, dan gue masih (nganggur). Jadi gue harus menemani kakek tidur di Rumah
Sakit. Saat itu gue nggak bisa tidur, tiap menit perawat masuk saat gue loyo
karena ngantuk masuk lagi perawat yang sama apalagi perawatnya cewek. Rada-rada
nggak enak tidur saat perawat cantik itu masuk, karena gue ileran, gue gak mau
perawat itu melihat gue terlentang dengan mulut menganga dan melihat proses
terbentuknya pulau di bibir gue, jadi gue memilih untuk tidak tidur.
Gue
berpikir jadi perawat ternyata enak juga, selain mulia pekerjaanya, bisa juga
ganggu orang tidur apalagi cewek perawat cantik-cantik, saat itu terbesit di
pikiran gue. “Kalo gue nggak jadi perawat, dapat istri perawat juga boleh”.
Gimana
gue mau jadi perawat, gue aja nggak kuliah pasca lulus SMA (baca;nganggur).
Dan gue ingat dokter yang mengoperasi kakek gue waktu
itu, badanya gemuk, suaranya merdu dan waktu itu orangnya mudah diingat sekali
karena satu hal.... Botak.
Dokter
itu spsialis bedah urologi, namanya Hendra, tiap pagi dokter botak itu masuk ke
ruangan kakek gue guna mengecek keadaan pasien.
saat gue nyantai di luar ruangan, gue berpikir lagi jadi
dokter kayaknya bagus, keren lagi bisa bedah ini, bedah itu, di tambah lagi
istri perawat, klop banget. Tapi di sisi lain biaya kuliahnya yang besar gue
dan gue kembali termenung, meskipun biaya kuliahnya besar tapi tak sebesar
hidung teman gue.
Semua
hal yang gue lihat tampak istimewa, gue nggak bisa fokus terhadap satu tujuan
cita-cita gue nggak begitu jelas. Gue masih ingat saat gue lulus dari SMA gue
sempat kembali lagi ke situ guna mengambil ijazah. Saat itu gue dihadapkan oleh
sebuah buku yang tampak berisi data lengkap dan terbagi dalam beberapa kolom.
Kolom pertama bertuliskan Nama lengkap, kolom kedua
berisi tanggal lahir sampai ke kolom terakhir tertulis “Perguruan Tinggi”.
Untuk mengisi kolom pertama dan kedua gue nggak ada masalah sampai dikolom
terakhir gue sempat lama berpikir gue mau mengisi apa, ini tidak sesuai yang
gue alami apa gue harus tulis situ “Universitas Pengangguran Indonesia”.
Gue
sempat melihat tulisan teman-teman gue sebelumnya, ada yang nulis “Akademi
Keperawatan” ada yang nulis “Universitas Negri Jambi” bahkan sahabat-sahabt gue
yang paling stres di kelas pada saat itu bisa-bisanya di menulis “Universitas
Negri Yogyakarta”. Luar biasa.
Ya sahabat gue semuanya berlabel Universitas. Gue
kelamaan mikir, nggak sempat lagi gue berpikir karena udah kelamaan mikir. Saat
itu kalau anak kuliahan pasti keren dan selalu di kerubungi wanita-wanita
kampus, kalau itu bisa menaikan derajat gue sebagai pengangguran, gue bakal
tulis “Universitas Indonesia” di kolom terakhir. Tapi gue berusaha sebijak
mungkin dan tidak mengisi kolom terakhir.
Sekarang
gue nggak tau lagi apa yang ada di pikiran para guru-guru gue. Mungkin
guru-guru berpikir ‘Nggak nyangka, murid sebaik dia bisa berbuat seperti ini’
atau ‘Guntur sekarang udah bisa shuflle dance ya’.
Saat SMA gue ngadain pertandingan
sepak bola antar kelas, gue sempat datang kelapangan untuk nonton, sekadar
mencari kegiatan di kala pengangguran. Dan gue berharap semoga adek kelas gue
bakal nyium tangan gue nanti saat ketemu gue tapi, harapan tinggalah harapan,
malah adek kelas gue manggil gue dengan sebutan ‘Om’. Dan alhasil tangannpun
tak jadi dicium dan tiba-tiba selangkangan jadi kesemutan.
Saat
itu gue datang dengan status pemain pinjaman, hm maksud gue status Alumni. Gue datangi
mereka satu persatu dan ternyata ‘Kalian terlau cepat besar'.
Gue
datang kayak artis yang di eluh-eluhkan oleh para fans, mereka nyapa gue.
‘Bang
Guntur ya?’ tanya seorang adek kelas gue
‘Iya,
lupa ya?’ jawab gue setengah senyum
‘Ya
ampun abang. Gendut banget sekarang makan apa sih bang’. respon gue Cuma
cengengesan. Hehehe. Hehehe. Hehehe.
Yang
bikin gue bingung juga saat itu adalah mereka bertanya soal Universitas. layaknya
orang pasca lulus SMA adek kelas mereka bertanya kuliah dimana sekarang. Dan
itu terjadi sama gue, saat adek kelas gue bertanya ‘Kuliah dimana sekarang
bang’?. Kenapa mesti ada pertanyaan seperti itu, kenapa mereka nggak tanya
‘Abang, lagi apa?’ atau ‘Udah makan belum bang?’ atau ‘Abang I Love You’.
Jujur
saat mereka bertanya seperti itu gue nggak tau mesti jawab apa. kalau memang
berbohong bisa membuat derajat gue naik juga sebagai pengangguran, gue bakal
jawab ‘Abang sekarang kuliah di Universitas Indonesia’.
Tapi
gue lebih memilih untuk tidak menjawab, gue diam tanpa kata dan berusaha
mengalihkan perhatian seperti ‘Kamu cantik sekali hari ini’ atau ‘Kamu udah
putus sama cowok kamu’.
Gue
jadi ingat pertama kali gue kenalan sama cewek di Facebook, waktu itu via chatting,
dan waktu itu juga gue masih (nganggur). Gue coba beranikan diri untuk mencari
gebetan di kala pengangguran. Karena zaman sudah serba canggih, lewat jejaring
sosial kita bisa kenalan dengan seseorang, meskipun kita nggak tau siapa orang
itu.
Gue
seleksi satu persatu, layaknya acara Take
Me Out gue pilih cewek mana yang paling cantik untuk seorang pengangguran
macam gue. Dan untuk diketahui pemirsa, bahwa semua cewek di Facebook saat itu cantik-cantik semua.
Entah kenapa gue bisa bilang gitu, apa mungkin efek Jomblo yang sudah
bertahun-tahun dak bertemu wanita atau mata gue yang juling. Yang gue tau
Jomblo nggak pernah memandang siapa cewek yang bakal dia kenal, mau cantik mau
jelek pun yang penting gebetan.
Setelah
sekian lama mencari, akhirnya gue ketemu teman chatting gue. Anggaplah nama Facebook
nya “Sh4m14thun 1n61n d1 m3n63%ti”.
Awal chatting
terlihat normal. Gue nulis.
‘Hai’
dengan emotion senyum titik dua tutup kurung gue, dan tak lama kemudian dia
balas
‘Hai
juga’ tapi tanpa emotion, gue juga sempat kaget dia balas chatt gue, lalu
pembicaraan berlanjut sampai sekian lama chatting munculah pertanyaan tersulit
(dalam hidup gue).
‘Kamu
kuliah dimana?’. Gue harus jawab apa ? Apa gue harus bilang nganggur gitu, kalo
memang label Universitas bisa menaikan pamor gue sebagai pengangguran, gue
bakal jawab “Institut Tekhnologi Bandung”.Tapi gue lebih memilih untuk tidak
membalas chatt dia. kejadian seperti ini bukan sekali ini saja, bahkan ini sudah
yang keempat kalinya.
Setelah
gue teliti dari berbagai sumber yang ada, gue pernah baca di salah satu akun di
Twitter. Disitu menjelaskan bahwa
‘75% wanita tidak suka berkencan sama pria pengangguran’. Dan gue sadar akan
hal itu. Itu alasan gue kenapa gue lebih memilih diam tanpa kata daripada
mejawab.
Bukan
itu saja, kediaman ini berlanjut pasca lulus dari SMA, karena gue tau gue nggak
bakal kuliah. Pada saat itu bulan ramadhan,
teman gue ngajak untuk berbuka bersama di salah satu cafe. Ya betul cafe.
Seumur hidup gue baru kali ini main ke cafe, biasa juga main di warteg makan
pun pakai tangan dengan satu kaki di atas kursi. Dan ini di cafe. Gue berpikir,
meskipun gue pengangguran, gue akan tampil se-elegan mungkin. Gue coba baju
yang ada di lemari gue dan yang ada ternyata hanya batik merah andalan gue,
sisanya baju sobek bin kotor dan kaleng susu buat gue kerja di lampu merah
nanti.... ngemis.
Setelah
sampai di cafe, ada sedikit hal yang bikin gue ganjal. Gue melihat kenapa di
cafe ini ada banyak sekali Deddy
Corbuizer berkeliaran di cafe ini. Apa mereka mau belajar sulap atau mereka
terkena kanker otak gue nggak tau, yang jelas cafe itu berubah suasana jadi
tempat para berkumpulnya manusia setengah botak.
Gue
berusaha enjoy dengan suasana ini, ketika gue berjabat tangan dengan mereka gue
bertanya ‘Gimana kuliahnya?’ dan mereka menjawab ‘Kita baru mau ospek tur’
jawab mereka lesu. Dan ternyata, kebotakan ini disebabkan oleh penyakit baru
yaitu.... ospek. Disitu gue lega.
Saat
itu gue habiskan waktu gue dengan diam tanpa kata, sambil mengotak-atik
handphone yang sudah bertahun-tahun tak menerima SMS lagi, sembari mendengarkan
mereka bercerita tentang Universitas masing-masing, ada yang calon dokter, ahli
hukum, ahli ekonomi bahkan sampai ahli membuat anak pun ada.
Gue
juga ingat yang bisa gue lakukan selain diam adalah, gue pergi ke toko dan
membeli sekotak baygon dan
menghidupkanya sambil berharap tak ada nyamuk yang menggigit mereka. Atau gue
yang jadi baygon mereka, sambil
berharap salah satu teman gue bilang ‘Guntur, obat nyamuknya habis, cepat bikin
lagi.’ lalu gue menjawab ‘Baik pak’.
Kediaman
ini masih terus berlanjut, meskipun gue sudah berusaha membuka cerita duluan
kepada mereka, tapi yang gue senag sama mereka adalah sikap respectnya. Mereka
paham posisi gue dan tentu gue senang dengan sikap itu. Tapi tetap, ketika
mereka berbicara soal fakultas atau dunia perkuliahan, gue lebih memilih diam.
Teman
gue Irfan, dia sempat kaget dengar gue nggak bisa kuliah. Ketika kami
mengobrol.
‘Gimana
bung, lanjut ?’ tanya dia santai, lalu gue jawab datar.
‘Belum
bung’
‘Gue
ngerti bung’
‘Terima
kasih bung’ jawab gue lega
‘Dengar
lo yang katanya nggak kuliah, gue pengen banget bantu, tapi mau gimana’
‘Santai
bung, rezeki nggak kemana’ jawab gue penuh tawa.
Gue
ingat apa kata salah satu guru gue, beliau juga kaget dengar gue nggak kuliah.
Ketika dia bertanya.
‘Kuliah
dimana tur’ saat dia tanya seperti itu gue pengen jawab
‘Universitas
Celana Dalam’ karena gue berusaha bijak gue menjawab
‘Belum
bu’
‘Ibu
ngerti nak’ jawab dia lesu, lalu gue jawab denagn lesu pula
‘Memang,
ekonomi selalu jadi masalah klasik ya bu’ yang kebetulan ibu itu juga guru
ekonomi, gue sengaja bikin pernyataan seperti itu, pengen tau apa respon dia,
lalu dia menjawab.
‘Iya
terkadang seperti itu, tapi bicara soal kuliah, kita juga baca soal kesempatan,
tahun ini mungkin belum, insya allah tahun depan’ jawab dia.
Gue
terdiam sejenak, dan berpikir. Betul. Ada yang bilang kesempatan itu datangnya
sekali, tapi tidak untuk menuntut ilmu. Ketika kita ingin terus berusaha untuk
mengejar ilmu, maka kesempatan itu akan datang silih berganti.
Teman
gue banyak bilang ‘Kuliah nggak ada batas umur bung’ atau ‘Kerja dulu kayaknya
bagus bung, cari pengalaman. Kuliah gampang’.
Lo
pikir pengangguran nggak boleh punya cita-cita, yaa mungkin saat guru bertanya
‘Apa cita-cita kalian’ gue lagi ke WC atau nggak masuk sekolah.
Atau
pengangguran nggak bisa jadi pemain bola, perawat atau istri perawat atau
pengangguran nggak boleh punya pacar dan apa pengangguran kerjanya hanya diam
saja dan jadi baygon??
Tidak,
lo jangan pernah berpikir siapa lo sekarang, yang penting adalah apa yang bisa
lo beri untuk mereka yang lo cintai. Terkadang lo nggak perlu menjadi orang
istimewa di depan orang istimewa. Lo harus maksimalkan apa yang ada dalam diri
lo dan yakinlah pada suatu hari nanti lo bakal bangga dengan apa yang lo dapat,
asal lo mau maksimalkan potensi lo, karena gue yakin bukan gue saja yang punya
banyak cita-cita.