Jumat, 29 Maret 2013


Inilah Alasan Mengapa Jomblo Itu Indah
Masih banyak orang yang mendesak rekan mereka atau heran ketika rekan mereka jomblo. Well, memang untuk bisa memutuskan punya pasangan atau tidak, juga tergantung dari usaha dan kehendak pelakunya. Mungkin bagi mereka, menjadi orang single itu masih indah.

Tidak semua orang ingin segera berpacaran ataupun menikah. Ada beberapa alasan di balik itu semua. Inilah beberapa faktor yang bisa menjelaskan kenapa status jomblo itu indah.

1. Bisa Fokus Dengan Karir Atau Pendidikan

Mungkin Anda akan berpikir orang seperti ini terlalu sibuk dengan dunianya sampai lupa mencari jodoh. Namun pada dasarnya setiap orang butuh melakukan pencapaian terbaik dalam hidupnya. Dengan alasan ini, mereka tidak ingin menjadi beban sekaligus terpengaruh pada keadaan yang tidak yakin bisa mereka handle, misalnya pertengkaran.

2. Tidak Terbebani Biaya Kencan

Salah satu kenikmatan ketika Anda sedang jomblo adalah masalah keuangan. Anda tak harus pusing dengan masalah uang kencan, uang kado untuk pacar, uang pulsa untuk telepon. Dompet Anda jadi lebih 'aman' dan terjaga ketebalannya.

3. Banyak Teman, Banyak Pengalaman

Dengan status yang masih single, Anda masih 'available' untuk teman-teman dan orang-orang baru, terutama untuk join dalam berbagai kegiatan seru. Waktu Anda lebih banyak bisa dihabiskan untuk hal-hal menarik seperti kumpul bareng, ikut klub hobi tertentu dan sebagainya. Lumayan lah untuk nambah pengalaman dan pengetahuan.

4. Flirting Time

Ketika Anda sedang single, Anda bisa mendekati dan didekati siapa saja. Anda bisa menikmati masa penjajakan dengan berbagai jenis pria. Ups, tapi batasi juga ya, jangan sampai terkesan menjadi PHP bagi orang lain.

5. Free To Be Yourself

Yang paling indah dari masa jomblo adalah masih bebas melakukan apapun yang Anda suka, menjadi diri sendiri dan tidak terkekang oleh kecemburuan atau aturan pasangan kita. Anda tak harus ijin dulu untuk main ke mana, tak harus melaporkan di mana lokasi Anda dan apa yang sedang Anda lakukan sejam sekali. Hidup Anda, sepenuhnya dalam kendali Anda.

6. Minim Stres

Ketika Anda sudah memiliki pasangan, resiko yang harus dihadapi adalah stres yang bertambah. Ketika Anda masih jomblo, beban pikiran tentang masa depan hubungan, kecemburuan bahkan pertengkaran-pertengkaran dalam hubungan tidak akan banyak mengganggu Anda.

Masa jomblo itu sebenarnya indah, namun jangan keenakan sendiri sehingga Anda lupa mencari pasangan. Nikmati masa single Anda, sambil mencari si dia yang klik di hati.


·         Kalo cinta jangan pakai SMS, karena SMS bisa dihapus.

·         Kalo cinta jangan lewat bunga, karena bunga bisa layu.


·         Kalo cinta jangan lewat lagu, karena lagu bisa terlupakan.

·         Tapi kalo cinta itu lewat Mie Sedap, karena Mie Sedap nggak pernah bohong.


·         Jika anda dilempar batu oleh seseorang, janganlah kau balik lempar, balaslah dengan senyuman dan lempar bunga kepadanya, tapi usahakan potnya juga ikut kelempar.

·         Berat sama di pikul, ringan sama dijinjing, kalo nggak mau susah di paketin aja.


·         Ada yang bilang hidup itu seperti sepeda, jika ingin seimbang bergeraklah terus. Nggak kebayang kalau pakde cilok jualan pake mobil.

·         Faktor ekonomi membuat orang berbuta kejahatan. Nggak habis pikir kalau nilai ekonomi seorang siswa yang terlalu rendah akan berbuat apa coba pada gurunya.


·         Jomblo itu mahal harganya, yang murahan itu yang pacaran, apalagi gonta-ganti pacar.

·         Jomblo adalah mahluk yang paling suci. Mereka nggak pernah berduaan, nggak pernah selingkuh dan yang pasti nggak pernah..... pacaran.


·         Ayo kalau mau dibilang ganteng sama cewek-cewek, makanya sholat jumat.

·         Ciiiee yang di bilang ganteng sama pacarnya cuma gara-gara sholat jumat.


·         Ciiiee yang baru pulang dari sholat jumat, buka Facebook langsung liat status mantan dia bilang “yang nggak sholat jumat nggak ganteng” mau balikan ya.

·         Selamat malam minggu bagi yang pacaran, selamat sabtu malaman bagi yang jomblo-an.


·         Cewek yang memakai jersey sepak bola itu bisa di perkirakan dulu ia gagal menjadi pemain sepak bola, atau gagal menjadi cowok.

·         Orang yang pacaran menggunakan couple t-shirt bertemakan sepak bola, bisa di perkirakan kedua pasangan itu dulunya gagal menjadi pemain sepak bola.

Selasa, 26 Maret 2013


CERITA gue awali saat pertama gue masuk SMA. Nggak ada yang istimewa saat pertama gue pake putih abu-abu, paling awalnya Cuma risih karena dari TK sampai SMP harus pake celana pendek tiba di SMA harus pake celana panjang.
                Gue sekolah di SMAN 10 Batang Hari, terdengar asing di telinga lo, tapi tidak untuk seorang siswa pelarian kayak gue. Ya betul pelarian. Karena gue waktu itu ikut tes SMA bertaraf internasional. Awalnya oke-oke aja saat gue ketemu teman SD gue dan sampai pada akhirnya di saat pengumuman tes gue dinyatakan tidak lulus.
Ini kedua kalinya gue nggak bisa ikut gabung bareng teman lama gue, setelah yang pertama SMP dulu gue juga nggak bisa ikut gabung sama mereka yang sekolah di SMP bertaraf internasional juga. mungkin mereka tau tingkat kebodohan bin kebegoan gue sampai dimana, dan akhirnya dengan kepala tertunduk gue lari setelah dinyatakan TIDAK LULUS (sengaja di caps lock biar dramatis) ke SMA tetangganya yaitu SMAN 10.
Pertama kali gue lihat SMA ini, lebih kurang seperti sekolah hantu, siang aja sepi apalagi malam, rumput liar panjang mencuat dengan indahnya. Gue berpikir ini sekolah apa hutan, dengan hawa yang begitu dingin (siang-siang dingin). Setelah gue sempat melihat secara pintas SMA itu, gue memutuskan keesokan harinya gue akan kesitu untuk mendaftar.
Gue juga nggak tau kenapa gue bisa tertarik untuk pergi kesitu, mungkin sekolah itu punya daya magnet tersendiri, agar pengunjung bisa tertarik masuk kesitu. (dufan kali ya). Atau punya daya tarik tersendiri agar siswa yang gagal tes bisa masuk kesini, saat gue masuk dan berjalan selangkah demi selangkah menuju kantor sekolah sepi itu dan menyapa.
‘Assalamualikum’ seru gue sambil berharap keramahan dari mereka.
‘Waalaikumssalam’ jawab dari salah satu guru ‘Masuk dek, mau daftar ya’ tanya dari salah satu guru.
‘Iya buk, saya mau ngambil formulirnya’ nggak lama kemudian, guru itu mengambil formulir pendaftaran buat gue isi.
‘Ini formulirnya’ di kasih ke gue ‘Diisi ya, nanti kalo udah di isi balik lagi kesini’
‘Disini nggak pake tes ya buk’ tanya gue bingung.
‘Nggak kok pokoknya isi aja formulir itu’.
Dengar ibu itu ngomong kalo disini nggak pake tes, gue gondok setengah hidup. Kenapa gue relain waktu gue buat tes SMA berblablabla itu, dan akhirnya gue nggak lulus juga. Mending gue dari awal kesini nggak pake ribet dan nggak pake tes dan wajah pun terhindar dari rasa malu akibat tidak lulus tes. terlihat bego saat teman lama lulus dari tes SMA berblabla itu, sedangkan gue nggak. Selain terlihat bego juga terlihat malu. Malu karena kebodohan gue.

                Setelah formulir sudah gue selesai isi, besoknya gue datang lagi ke SMA itu. Kali ini sudah agak terlihat ramai dengan adanya orang-orang yang mendaftar, gue berpikir mungkin mereka adalah siswa pelarian juga yang nggak lulus tes SMA berblablabla itu. Hahahaha ternyata bukan gue aja yang bego, tapi ada satu hal yang bikin gue ganjal, apa mungkin gue salah pake celana dalam atau gue lupa pake celana dalam, yang jelas ada yang aneh. Tampang orang-orang yang mendaftar disini desa, pas datang ke SMA mereka pakai baju SMP dengan warna yang sudah pudar, sepatu sobek dan muka pas-pasan. Untung mereka nggak datang dan nyamperin gue sambil berkata ‘Bang sedekahnya bang belum makan dari SD’ karena gue nggak bawa duit. Dan juga mereka mendaftar tidak sendiri, ada yang bawa ibu bapak kakek nenek om tante, sedangkan gue sendiri.
                Setlah memarkir si ungu dan gue berjalan selangkah demi selangkah, gue sempat melihat rumput kemaren dan ternyata rumput itu belum di cukur juga. Karena gue waktu itu pakai celana pendek khas SMP, alhasil kaki pun gatal-gatal setelah melalui rumput biadap itu. Mungkin sekolah disini memiliki obsesi menjadikan sekolah nya menjadi hutan lindung. Setelah berjalan di atas rumput, pandangan gue beralih ke calon teman-teman (desa) baru gue yang mendaftar. Dan langsung gue berjalan menuju kantor guna memberikan formulir yang sudah gue isi, sambil mengetuk pintu hatinya eeh pintu kantornya.
                ‘Assalamualikum’ seru gue yang kembali berharap keramahan dari mereka.
                ‘Waalaikumsalam, masuk’ jawab dari salah satu guru.
                ‘Ini buk formulirnya’ sambil menyodorkan tangan ‘Sudah saya isi’ kata gue grogi, dan guru itu sejenak melihat formulir yang gue isi.
                ‘Oke, besok datang lagi ya kesini pake baju SMP lengkap’ seru ibu itu ‘Karena besok ada pengumuman lulus atau nggaknya’ kata ibu itu sambil tersenyum lebar.
                ‘Disini emang benar-benar nggak pake tes ujian gitu ya buk’ tanya gue masih bingung.
                ‘Nggak pokonya besok datang aja lagi ya’
                ‘Iya buk’ jawab gue lesu.

                Dan disini benar-benar nggak pake tes, terbuka untuk umum kayak wahana. Pantas orang-orang yang mendaftar banyak dari berbagai desa, yang tampangnya pas-pasan itu. Sebenarnya gue nggak yakin, dari tadi gue menghina orang terus apa gue merasa ganteng. (ya iya lah gue gitu loh).
                Setelah pulang dari sekolah hutan itu, kakek gue langsung nanya. Karena dia yang paling cerewet dirumah ini. Sebagai mantan intel, gue udah kayak pelaku yang habis memutilasi keluarga orang, dan tertangkap dan di introgasi. Dan yang tukang introgasi itu adalah kakek gue. Sampai stres gue dibuat kakek oleh banyaknya pertnayaan.
                ‘Udah daftar sekolah’ tanya kakek gue lantang dengan gaya bicara keras khas Palembang.
                ‘Udah’ jawab gue datar
                ‘Ketemu sama siapa disana’
                ‘Sama orang desa’ jawab gue manyun
                ‘Orang desa gimana’ tanya kakek gue dengan menaikan nada bicara sekitar ¾. Gue udah benar-benar kayak pelaku penjahat yang sedang di introgasi saat itu.
                ‘Ya iya lah, yang daftar semuanya orang desa. ntah dari desa mana’ kakek gue Cuma ketawa ringan.
                ‘Hahaha, yang kamu lihat baru sebagian kan belum sepenuhnya’.
 Yaa sebagian aja udah desa, apalagi seluruhnya nanti. Bisa-bisa pas lagi perkenalan, mereka bakal bercerita tentang budaya mereka masing-masing. Seperti pada saat mereka boker, mereka selalu pergi ke sungai dan mandi di sungai yang sama.

                Besoknya gue bersiap dengan baju SMP lengkap gue, guna mendengar pengumuman lulus atau tidaknya. Meskipun gue udah yakin 100% gue bakal lulus, secara nggak pake tes jadi keyakinan pun menyelubungi hari gue saat itu. Saat gue datang ternyata suasana pun berubah jadi ramai tentunya, penuh dengan orang-orang (desa).
Dan pada akhirnya, tibalah saat pengumuman dan keyakinan itu pun tidak sia-sia. Gue lulus dengan sukses bin berhasil. Ini terlalu mudah untuk siswa yang mengharapkan ke instanan.
                Setelah pengumuman selesai, ada salah satu guru yang berdiri di atas mimbar dan berkata.
                ‘Yang dinyatakan lulus, besok harus datang lagi guna menghadiri MOS’.
Gue sempat garuk-garuk kepala kayak monyet impoten, kebingungan dengan kata MOS. Berhubung gue orang yang pemberani, gue bertanya pada salah satu calon teman baru gue. Karena gue belum kenal sama sekali, jadi gue panggil si calon teman baru gue itu dengan sebutan “abang”. Nggak tau kenapa gue bisa panggil dia dengan sebutan “abang”, padahal kita baru sama-sama masuk SMA bisa-bisanya gue manggil dia “abang”. Hina.
                ‘Maaf bang’ sapa gue berharap keramahan ‘MOS itu apa ya’.
                ‘Masa Orientasi Siswa’. jawab dia sumringah
                ‘kerjaanya ngapain aja bang’. lanjut gue masih manggil abang
                ‘Nanti kita bakal di kerjain’.
Gue terdiam sejenak, dan gue mencoba ingat-ingat. Di sekolah ini, gue punya kenalan kakak kelas teman main bola gue, waktu gue selesai daftar disini, dia bilang di lapangan waktu mau main bola ‘Kapan ya gue bisa ngospekin lo tur’.
Kalo kata Ospek sih, itu sudah familiar di telinga gue, dan yang gue tau Ospek itu selalu dikerjain sama seniornya. Dan gue berpikir gue bakal di kerjain sama senior-senior disini. Ini tidak benar.
                Setelah gue manyun sejenak, gue bersiap untuk mendengarkan pengumumn berikutnya dari ibu gendut itu. Dan guru itu berkata lagi.
                ‘Besok kalian akan menjalani MOS, dan kalian di wajibkan untuk membawa pot bunga, yang mana pot itu akan menjadi tas kalian’. Gue berkata dalam hati ‘Buku gue nggak muat untuk satu pot bunga buk’. Lalu ibu gendut itu melanjutkan pidatonya ‘Dan juga kalian harus memakai kaos kaki beda warna’. Gue kembali bergumam dalam hati ‘Ini masih biasa, Cuma kaos kaki beda warna doang, paling nanti pergi sekolah dikira orang buta warna’. Dan setelah itu, ibu gendut itu mengeluarkan kata-kata yang tidak enak di dengar ole kaum laki-laki yaitu ‘Kalian juga harus membawa DASTER bagi yang cowok. Dan bagi yang cewek harus membawa kain SARUNG. (sengaja di capslock biar dramatis). Gue kembali bergumam dalam hati, kaget kayak pasien yang di vonis oleh dokter bahwa gue dinyatakan terkena kanker payudara. ‘Ini sudah di luar akal sehat’ gumam dalam hati gue ‘.
                Gue kesel setengah hidup, disuruh bawa DASTER (sengaja di caps lock lagi). Cukup gue kesel disuruh bawa pot bunga yang bakal jadi tas gue nanti dan kaos kaki beda warna, ini kenapa harus ditmabah DASTER. Ini pertanda, kiamat sudah dekat, dimana laki-laki harus berdandan seperti wanita dan wanita berdandan seperti pria. Untung mereka nggak nyuruh bawa make-up juga, maskara, lipstick, bulu mata palsu, bedak dan beha. Sampai itu terjadi gue sukses berdandan kayak banci mandi angin.
                Ini pelecehan, tidak berkeprisekolahan. Sekolah ini berniat menjadikan siswanya gigolo atau semacamnya. Kebayang kalau gue pake daster, lalu make-up, lipstick, bulu mata palsu anti tsunami dan beha. Lalu mereka memiliki itikad jahat ke gue berniat mau menjual gue ke luar negri dan di jadikan pembantu, lalu gue akan di bunuh majikan gue karena ketahuan kalo gue sebenarnya adalah laki-laki. (separah itukah). Lalu rencana untuk menjadi lebih ganteng di depan orang-orang desa itu gagal total setelah gue harus memakai DASTER biadab itu.

                Untung nenek gue adalah seorang kapiten. Ehh maksud gue nenek gue adalah seorang pengoleksi daster, jadi gue berusaha menjelaskan ke nenek kalo gue bakal jadi perempuan untuk beberapa saat besok. Malam harinya gue langsung kekamar nenek gue.
                ‘Mbah’ sapa gue ‘Punya daster nggak’ Tanya gue pelan
                ‘Untuk apa tur’ nenek gue kaget, mungkin nenek gue berpikir kalo gue sebenarnya di lahirkan sebagai wanita atau dia bakal bilang ke gue ‘Kamu kenapa cu, apa yang sebenarnya yang terjadi padamu, nenek membesarkan mu bukan untuk menjadi wanita’. Lalu pingsan.
                ‘Nggak mbah, besok aku ada MOS disuruh bawa daster nggak tau buat apa’ jelas gue, lalu nenek gue langsung beranjak dari tempat tidurnya dan memberikan gue beberapa daster yang dia punya.
                Sumpah gue bingung mau milih yang mana, dasternya bagus-bagus, ada yang warna pink corak bunga, ada warna hijau corak boneka ada juga warna putih tanpa corak (kain kafan).
                Setelah beberapa lama memilih daster layaknya wanita ketika membeli baju lamanya hingga jenggot ubanan, gue jatuhkan pilihan gue kepada daster warna putih corak boneka. Untung daster putih itu ada corak, kalau tidak, yang ada pas gue datang ke sekolah teman-teman gue pada lari ngelihat kuntilanak di siang bolong. Atau mereka bakal baca ayat kursi sampai gue kepanasan.

                Setelah beberapa barang gue siapan seperti pot bunga, kaos kaki beda warna dan.... Daster. Gue pun berangkat dari rumah menuju sekolah. Rencananya daster laknat itu bakal gue pake dari rumah ke sekolah, tapi gue urungkan niat gue karena gue ingat di simpang nanti bakal ada power ranger (baca;polisi). Yang ada gue nanti di perkosi sama power ranger patroli itu.
                Setelah sampai di sekolah ada yang bikin gue ganjal, di lapangan ada 3 benda mencurigakan yang pertama mikrofon, tape dan bola kaki. Gue masih bingung kenapa benda ini ada di lapangan. Hipotesis gue menyatakan bahwa, pertama; mungkin bakal ada SMASH datang ke sekolah. Kedua; bakal ada Bambang Pamungkas main bola bareng gue nanti atau yang ketiga; gue bakal main bola menggunakan benda yang telah gue bawa ini seperti daster. Sekali lagi MAIN BOLA PAKE DASTER.
                Dan ternyata betul hipotesis gue, gue bakal MAIN BOLA PAKE DASTER. Kusut punya usut, rupanya tape itu sudah diisi dengan lagu dangdut yang mana nanti gue main bola pake daster dan diiringi lagu dangdut. Peraturanya saat musik hidup kita mulai berjoget di lapangan dan ketika musik berhenti, lanjut lagi main bola. gue menjerit dalam hati “INI SEKOLAH APAAAAAAAAAAA”.
                Saat yang paling menjijikan adalah waktu gue masuk ke kelas untuk pengarahan MOS, dan di suruh keluar lagi. Salah satu guru laki-laki paruh baya yang berbicara berkata pada kami ‘Silahkan kalian keluar, dan bentuk tim untuk bermain bola tapi menggunakan daster, jika tidak ada yang pakai, akan saya cubit tetek kalian’. Mendengar bapak guru itu berbicara gitu, ada dua hal yang terlintas di benak gue. Yang pertama; Gue berpikir bapak itu pasti nggak punya tetek, mau nyubitin tetek orang atau kedua; dia homo.
                Setelah di intruksikan keluar dan di ancam di cubit tetek, gue langsung buru-buru pake daster itu. Disitulah kiamat pun berlangsung, gue seolah-olah tenggelam oleh daster laknat itu. Karena gue cowok gue bener-bener nggak tau gimana make daster ini dan saat romantis bin busuk pun tiba saat gue nggak bisa pakai daster itu. Adalah. Gue dipakein daster sama salah satu kakak kelas cewek. Ini najis abis, gue malu setengah hidup cewek itu makein gue daster seolah -olah dia adalah master of daster.
                ‘Adek nggak bisa pake daster ya’, sapa dia ‘sini kakak pakein’
                ‘Nggak usah kak aku bisa kok’ protes gue
                ‘Udah sini cepat, nanti tetek lo kena cubit’ (kalo yang nyubit teteknya lo sih gue mau kak) Dan cewek itu langsung bergerak memakaikan gue daster, sumpah ini romantis bin gila binti sinting. Hancur martabak gue sebagai pria sejati, saat cewek itu memkaikan gue daster. Tentu ini di luar skenario, dimana awalnya gue ingin terlihat elegan di depan orang-orang desa itu, tapi semua itu hancur karena satu hal....Daster.
                ‘Tangannya masuk kesini dek’ sambung dia
                ‘Kemana kak, aku nggak tau’
                ‘Ihh bego ah, gini aja nggak bisa, baru juga daster’
                ‘Emang kakak kemaren main bola pake apa’ tanya gue lugu
                ‘Pake kebaya’.
Sebelum tim gue main, gue sempat melihat cewek-cewek yang ikut proses MOS. Hanya satu yang berbeda dari yang cowok, kalau cewek mereka disuruh bawa kain sarung, dan yang cowok bawa daster. Mereka terlihat biasa-biasa aja main bola voli pake kain sarung, dibanding nasib para cowok yang disuruh main bola pake daster, dan di ancam pula di cubit tetek. Sedangkan mereka tidak ada beban sama sekali dan tak perlu risau dengan ancaman cubit tetek, karena mereka sudah punya masing-masing.
Saat tim gue main, gue masuk kelapangan dengan wajah melas, persis kayak orang udah nggak BAB 8 bulan. Dengan pakaian yang tidak lazim, gue pun langsung tendang sana tendang sini. Saat itu gue nggak yakin sama performa gue diatas lapangan karena gue mengalami cedera batin karena di sleding oleh pemain yang namanya. Daster.

Sabtu, 09 Maret 2013


SEMUA hal yang gue lihat yang bersifat positif itu adalah istimewa, kebanyakan orang sejak mereka kecil sudah tau apa cita-cita mereka. ketika guru bertanya.
                ‘Apa cita-cita kalian anak-anak’ lalu ada yang menjawab
                ‘Polisi bu’
                ‘Guru bu’
                ‘Pemain sepak bola bu’.
Tentu dengan kepolosan mereka sebagai anak kecil. Tapi gue harap anak-anak sekarang tidak terpengaruh terhadap sinetron. adek gue yang paling kecil, karena gue udah kebanykan adek, gue lupa adek gue yang mana. Kadang ada orang lewat gue bilang ‘Lo adek gue bukan’.
                Sebagai abang yang baik, gue tanya apa cita-cita dia, mengingat dia masih kecil.
                ‘Adek’ panggil gue
                ‘Apa bang’ jawab dia setengah mengendus karena ingusnya yang mengucur.
                ‘Adek besok besar mau jadi apa’
                ‘Jadi tukang bubur bang’ jawab dia santai
                ‘Loh kok tukang bubur’
                ‘Iya bang, supaya bisa naik haji’. Mulut gue menganga dengar jawabanya, padahal gue mau bilang ‘Kenapa nggak jadi tukang foto copy aja’. karena pada saat itu, ada nyokap gue datang lalu gue urungkan niat gue untuk bertanya itu. Kalau gue terusin, takutnya nyokap bakal bilang ke gue ‘Kecil sekali cita-cita kamu tur jadi tukang foto copy’ atau ‘Kenapa kamu nggak buka usaha foto copy dan alat tulis kantor’.

                Itulah yang terjadi sama gue, sejak kecil cita-cita gue adalah pemain sepak bola, karena menjanjikan. Tapi sebenarnya, gue adalah orang yang termasuk banyak mempunayai cita-cita. Gue orang yang gak bisa fokus, ketika ada hal yang menarik, gue pengen ikut mencoba dan ketika ada hal lain yang menurut gue asik, gue pengen ikut mencoba juga.
                Karena gue sering nonton acara sepak bola, gue pengen jadi seperti mereka dan gue udah berusah dari mulai ikut seleksi kecamatan, hingga jadi pemain sekolah. Dan ternyata belum berhasil, meskipun nyokap sering bilang ‘pemain bola yang namanya Guntur belum ada loh’.
dan gue anggap itu motivasi.
                Nggak cukup gue gaggal, ternyata kakek gue malah nggak setuju. hal tersebut terlihat saat gue mau pergi latihan, saat itu gue sedang siap-siap dengan jersey gue, sepatu dan sarung tangan (karena gue penjaga gawang). Sebagai cucu yang baik, gue pamitan guna mendapat restu dari nenek.
                ‘Mbah, aku pergi latihan ya’ jerit gue dari kamar
                ‘Iya hati-hati, jangan pulang kesorean’ jawab nenek dan tiba-tiba kakek memotong pembicaraan.
                ‘Mau kemana dia’ tanya kakek
                ‘Main bola’ jawab nenek yang waktu itu baru selesai mencuci piring
                ‘Main bola terus, nanti motor itu rusak kalau rusak perlu biaya’ kesal kakek gue.
Gue nggak tau apa yang dipikirkan oleh sang kakek sehingga beliau masih semapt-sempatnya bicarain soal motor.
                Gue berharap waktu itu kakek bakal bilang.
                ‘Iya, hati-hati ya. Salam buat pelatihnya’. Tapi ternyata dia bilang.
                “MAIN BOLA TERUS, JADI PEMAIN NGGAK JUGA”.
Gue tertegun, gue udah sempat mau banting motor dengar kakek gue bilang gitu. Ocehan kakek seolah tertutupi dengan suara hentakan sepatu gue yang menghentak keramik rumah. Gue berusaha sabar, gue lanjutin apa yang seharusnya gue lakukan. Gue udah naik pitam, gigi atas dan gigi bawah sudah bergesekan seolah menunjukan kegeraman dan bibir pun manyun lima senti.

                Setelah gue anggap sepak bola gagal, gue nggak patah semangat, gue cari kegiatan lain yang kira-kira bisa gue jadiin cita-cita. Dan ketemulah yang namanya sulap. Awalnya gue sering nonton acara sulap gue perhatiin ini menarik untuk di lakukan, dan akhirnya gue belajar sulap. Gue pergi ke toko buku dekat rumah gue setelah dapat info dari teman gue kalau di sekitar sini ada jual buku sulap. Dan gue beli beberapa buku sulap dan gue pelajari semuanya. Tapi nyatanya gue cuma terkenal di komplek rumah gue aja, bahkan kalau ada anak kecil lewat dia selau bilang ‘Bang, sulapnya dong bang’. Gue udah kayak pak Tarno, di gandrungi oleh anak-anak kecil. Bahkan ada anak kecil yang datang menghampiri gue sambil berkata ‘Ayo abang, kita tukaran trik sulap’. yang paling kesal pada saat mau nunjukin trik, mereka nggak ada kagum-kagumnya.
                Seolah pesulap profesional gue berkata ‘Lihat tangan saya’
                ‘emang kenapa tangan lo’
                ‘gue punya koin bisa tembus’
                ‘oh, mau sulap ya. Bilang dong dari tadi’.
Gue lesu, melihat teman gue nggak sadar kalau gue mau sulap. Mendengar respon seperti itu, gue urungkan niat gue. (malang).

                Setelah sulap gue anggap gagal, gue coba cari hal lain seperti bermain playstation, atau nongkrong bareng teman-teman alay yang setiap sore di depan kantor yang sudah tutup lalu mendirikan motornya dengan posisi yang sama berjejer kurang lebih kayak sorum motor bekas.
                Hal seperti ini gue lakukan pada saat gue nganggur setahun, pasca lulus dari SMA. Gue coba cari kegiatan saat gue terjebak dalam kolesterol tinngi.
                Pada saat gue masih dalam kejayaan dalam status pengangguran, kakek gue masuk rumah sakit, dan gue masih (nganggur). Jadi gue harus menemani kakek tidur di Rumah Sakit. Saat itu gue nggak bisa tidur, tiap menit perawat masuk saat gue loyo karena ngantuk masuk lagi perawat yang sama apalagi perawatnya cewek. Rada-rada nggak enak tidur saat perawat cantik itu masuk, karena gue ileran, gue gak mau perawat itu melihat gue terlentang dengan mulut menganga dan melihat proses terbentuknya pulau di bibir gue, jadi gue memilih untuk tidak tidur.
                Gue berpikir jadi perawat ternyata enak juga, selain mulia pekerjaanya, bisa juga ganggu orang tidur apalagi cewek perawat cantik-cantik, saat itu terbesit di pikiran gue. “Kalo gue nggak jadi perawat, dapat istri perawat juga boleh”.
                Gimana gue mau jadi perawat, gue aja nggak kuliah pasca lulus SMA (baca;nganggur).
Dan gue ingat dokter yang mengoperasi kakek gue waktu itu, badanya gemuk, suaranya merdu dan waktu itu orangnya mudah diingat sekali karena satu hal.... Botak.
                Dokter itu spsialis bedah urologi, namanya Hendra, tiap pagi dokter botak itu masuk ke ruangan kakek gue guna mengecek keadaan pasien.
saat gue nyantai di luar ruangan, gue berpikir lagi jadi dokter kayaknya bagus, keren lagi bisa bedah ini, bedah itu, di tambah lagi istri perawat, klop banget. Tapi di sisi lain biaya kuliahnya yang besar gue dan gue kembali termenung, meskipun biaya kuliahnya besar tapi tak sebesar hidung teman gue.

                Semua hal yang gue lihat tampak istimewa, gue nggak bisa fokus terhadap satu tujuan cita-cita gue nggak begitu jelas. Gue masih ingat saat gue lulus dari SMA gue sempat kembali lagi ke situ guna mengambil ijazah. Saat itu gue dihadapkan oleh sebuah buku yang tampak berisi data lengkap dan terbagi dalam beberapa kolom.
Kolom pertama bertuliskan Nama lengkap, kolom kedua berisi tanggal lahir sampai ke kolom terakhir tertulis “Perguruan Tinggi”. Untuk mengisi kolom pertama dan kedua gue nggak ada masalah sampai dikolom terakhir gue sempat lama berpikir gue mau mengisi apa, ini tidak sesuai yang gue alami apa gue harus tulis situ “Universitas Pengangguran Indonesia”.
                Gue sempat melihat tulisan teman-teman gue sebelumnya, ada yang nulis “Akademi Keperawatan” ada yang nulis “Universitas Negri Jambi” bahkan sahabat-sahabt gue yang paling stres di kelas pada saat itu bisa-bisanya di menulis “Universitas Negri Yogyakarta”. Luar biasa.
Ya sahabat gue semuanya berlabel Universitas. Gue kelamaan mikir, nggak sempat lagi gue berpikir karena udah kelamaan mikir. Saat itu kalau anak kuliahan pasti keren dan selalu di kerubungi wanita-wanita kampus, kalau itu bisa menaikan derajat gue sebagai pengangguran, gue bakal tulis “Universitas Indonesia” di kolom terakhir. Tapi gue berusaha sebijak mungkin dan tidak mengisi kolom terakhir.
                Sekarang gue nggak tau lagi apa yang ada di pikiran para guru-guru gue. Mungkin guru-guru berpikir ‘Nggak nyangka, murid sebaik dia bisa berbuat seperti ini’ atau ‘Guntur sekarang udah bisa shuflle dance ya’.
                Saat SMA gue ngadain pertandingan sepak bola antar kelas, gue sempat datang kelapangan untuk nonton, sekadar mencari kegiatan di kala pengangguran. Dan gue berharap semoga adek kelas gue bakal nyium tangan gue nanti saat ketemu gue tapi, harapan tinggalah harapan, malah adek kelas gue manggil gue dengan sebutan ‘Om’. Dan alhasil tangannpun tak jadi dicium dan tiba-tiba selangkangan jadi kesemutan.
                Saat itu gue datang dengan status pemain pinjaman, hm maksud gue status Alumni. Gue datangi mereka satu persatu dan ternyata ‘Kalian terlau cepat besar'.
                Gue datang kayak artis yang di eluh-eluhkan oleh para fans, mereka nyapa gue.
                ‘Bang Guntur ya?’ tanya seorang adek kelas gue
                ‘Iya, lupa ya?’ jawab gue setengah senyum
                ‘Ya ampun abang. Gendut banget sekarang makan apa sih bang’. respon gue Cuma cengengesan. Hehehe. Hehehe. Hehehe.
                Yang bikin gue bingung juga saat itu adalah mereka bertanya soal Universitas. layaknya orang pasca lulus SMA adek kelas mereka bertanya kuliah dimana sekarang. Dan itu terjadi sama gue, saat adek kelas gue bertanya ‘Kuliah dimana sekarang bang’?. Kenapa mesti ada pertanyaan seperti itu, kenapa mereka nggak tanya ‘Abang, lagi apa?’ atau ‘Udah makan belum bang?’ atau ‘Abang I Love You’.
               
                Jujur saat mereka bertanya seperti itu gue nggak tau mesti jawab apa. kalau memang berbohong bisa membuat derajat gue naik juga sebagai pengangguran, gue bakal jawab ‘Abang sekarang kuliah di Universitas Indonesia’.
                Tapi gue lebih memilih untuk tidak menjawab, gue diam tanpa kata dan berusaha mengalihkan perhatian seperti ‘Kamu cantik sekali hari ini’ atau ‘Kamu udah putus sama cowok kamu’.
                Gue jadi ingat pertama kali gue kenalan sama cewek di Facebook, waktu itu via chatting, dan waktu itu juga gue masih (nganggur). Gue coba beranikan diri untuk mencari gebetan di kala pengangguran. Karena zaman sudah serba canggih, lewat jejaring sosial kita bisa kenalan dengan seseorang, meskipun kita nggak tau siapa orang itu.
                Gue seleksi satu persatu, layaknya acara Take Me Out gue pilih cewek mana yang paling cantik untuk seorang pengangguran macam gue. Dan untuk diketahui pemirsa, bahwa semua cewek di Facebook saat itu cantik-cantik semua. Entah kenapa gue bisa bilang gitu, apa mungkin efek Jomblo yang sudah bertahun-tahun dak bertemu wanita atau mata gue yang juling. Yang gue tau Jomblo nggak pernah memandang siapa cewek yang bakal dia kenal, mau cantik mau jelek pun yang penting gebetan.

                Setelah sekian lama mencari, akhirnya gue ketemu teman chatting gue. Anggaplah nama Facebook nya “Sh4m14thun 1n61n d1 m3n63%ti”.
Awal chatting terlihat normal. Gue nulis.
                ‘Hai’ dengan emotion senyum titik dua tutup kurung gue, dan tak lama kemudian dia balas
                ‘Hai juga’ tapi tanpa emotion, gue juga sempat kaget dia balas chatt gue, lalu pembicaraan berlanjut sampai sekian lama chatting munculah pertanyaan tersulit (dalam hidup gue).
                ‘Kamu kuliah dimana?’. Gue harus jawab apa ? Apa gue harus bilang nganggur gitu, kalo memang label Universitas bisa menaikan pamor gue sebagai pengangguran, gue bakal jawab “Institut Tekhnologi Bandung”.Tapi gue lebih memilih untuk tidak membalas chatt dia. kejadian seperti ini bukan sekali ini saja, bahkan ini sudah yang keempat kalinya.
                Setelah gue teliti dari berbagai sumber yang ada, gue pernah baca di salah satu akun di Twitter. Disitu menjelaskan bahwa ‘75% wanita tidak suka berkencan sama pria pengangguran’. Dan gue sadar akan hal itu. Itu alasan gue kenapa gue lebih memilih diam tanpa kata daripada mejawab.
                Bukan itu saja, kediaman ini berlanjut pasca lulus dari SMA, karena gue tau gue nggak bakal kuliah. Pada saat itu bulan ramadhan, teman gue ngajak untuk berbuka bersama di salah satu cafe. Ya betul cafe. Seumur hidup gue baru kali ini main ke cafe, biasa juga main di warteg makan pun pakai tangan dengan satu kaki di atas kursi. Dan ini di cafe. Gue berpikir, meskipun gue pengangguran, gue akan tampil se-elegan mungkin. Gue coba baju yang ada di lemari gue dan yang ada ternyata hanya batik merah andalan gue, sisanya baju sobek bin kotor dan kaleng susu buat gue kerja di lampu merah nanti.... ngemis.

                Setelah sampai di cafe, ada sedikit hal yang bikin gue ganjal. Gue melihat kenapa di cafe ini ada banyak sekali Deddy Corbuizer berkeliaran di cafe ini. Apa mereka mau belajar sulap atau mereka terkena kanker otak gue nggak tau, yang jelas cafe itu berubah suasana jadi tempat para berkumpulnya manusia setengah botak.
                Gue berusaha enjoy dengan suasana ini, ketika gue berjabat tangan dengan mereka gue bertanya ‘Gimana kuliahnya?’ dan mereka menjawab ‘Kita baru mau ospek tur’ jawab mereka lesu. Dan ternyata, kebotakan ini disebabkan oleh penyakit baru yaitu.... ospek. Disitu gue lega.
                Saat itu gue habiskan waktu gue dengan diam tanpa kata, sambil mengotak-atik handphone yang sudah bertahun-tahun tak menerima SMS lagi, sembari mendengarkan mereka bercerita tentang Universitas masing-masing, ada yang calon dokter, ahli hukum, ahli ekonomi bahkan sampai ahli membuat anak pun ada.
                Gue juga ingat yang bisa gue lakukan selain diam adalah, gue pergi ke toko dan membeli sekotak baygon dan menghidupkanya sambil berharap tak ada nyamuk yang menggigit mereka. Atau gue yang jadi baygon mereka, sambil berharap salah satu teman gue bilang ‘Guntur, obat nyamuknya habis, cepat bikin lagi.’ lalu gue menjawab ‘Baik pak’.

                Kediaman ini masih terus berlanjut, meskipun gue sudah berusaha membuka cerita duluan kepada mereka, tapi yang gue senag sama mereka adalah sikap respectnya. Mereka paham posisi gue dan tentu gue senang dengan sikap itu. Tapi tetap, ketika mereka berbicara soal fakultas atau dunia perkuliahan, gue lebih memilih diam.
                Teman gue Irfan, dia sempat kaget dengar gue nggak bisa kuliah. Ketika kami mengobrol.
                ‘Gimana bung, lanjut ?’ tanya dia santai, lalu gue jawab datar.
                ‘Belum bung’
                ‘Gue ngerti bung’
                ‘Terima kasih bung’ jawab gue lega
                ‘Dengar lo yang katanya nggak kuliah, gue pengen banget bantu, tapi mau gimana’
                ‘Santai bung, rezeki nggak kemana’ jawab gue penuh tawa.

                Gue ingat apa kata salah satu guru gue, beliau juga kaget dengar gue nggak kuliah. Ketika dia bertanya.
                ‘Kuliah dimana tur’ saat dia tanya seperti itu gue pengen jawab
                ‘Universitas Celana Dalam’ karena gue berusaha bijak gue menjawab
                ‘Belum bu’
                ‘Ibu ngerti nak’ jawab dia lesu, lalu gue jawab denagn lesu pula
                ‘Memang, ekonomi selalu jadi masalah klasik ya bu’ yang kebetulan ibu itu juga guru ekonomi, gue sengaja bikin pernyataan seperti itu, pengen tau apa respon dia, lalu dia menjawab.
                ‘Iya terkadang seperti itu, tapi bicara soal kuliah, kita juga baca soal kesempatan, tahun ini mungkin belum, insya allah tahun depan’ jawab dia.
               
                Gue terdiam sejenak, dan berpikir. Betul. Ada yang bilang kesempatan itu datangnya sekali, tapi tidak untuk menuntut ilmu. Ketika kita ingin terus berusaha untuk mengejar ilmu, maka kesempatan itu akan datang silih berganti.
                Teman gue banyak bilang ‘Kuliah nggak ada batas umur bung’ atau ‘Kerja dulu kayaknya bagus bung, cari pengalaman. Kuliah gampang’.

                Lo pikir pengangguran nggak boleh punya cita-cita, yaa mungkin saat guru bertanya ‘Apa cita-cita kalian’ gue lagi ke WC atau nggak masuk sekolah.
                Atau pengangguran nggak bisa jadi pemain bola, perawat atau istri perawat atau pengangguran nggak boleh punya pacar dan apa pengangguran kerjanya hanya diam saja dan jadi baygon??
                Tidak, lo jangan pernah berpikir siapa lo sekarang, yang penting adalah apa yang bisa lo beri untuk mereka yang lo cintai. Terkadang lo nggak perlu menjadi orang istimewa di depan orang istimewa. Lo harus maksimalkan apa yang ada dalam diri lo dan yakinlah pada suatu hari nanti lo bakal bangga dengan apa yang lo dapat, asal lo mau maksimalkan potensi lo, karena gue yakin bukan gue saja yang punya banyak cita-cita.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More