Sabtu, 09 Maret 2013


SEMUA hal yang gue lihat yang bersifat positif itu adalah istimewa, kebanyakan orang sejak mereka kecil sudah tau apa cita-cita mereka. ketika guru bertanya.
                ‘Apa cita-cita kalian anak-anak’ lalu ada yang menjawab
                ‘Polisi bu’
                ‘Guru bu’
                ‘Pemain sepak bola bu’.
Tentu dengan kepolosan mereka sebagai anak kecil. Tapi gue harap anak-anak sekarang tidak terpengaruh terhadap sinetron. adek gue yang paling kecil, karena gue udah kebanykan adek, gue lupa adek gue yang mana. Kadang ada orang lewat gue bilang ‘Lo adek gue bukan’.
                Sebagai abang yang baik, gue tanya apa cita-cita dia, mengingat dia masih kecil.
                ‘Adek’ panggil gue
                ‘Apa bang’ jawab dia setengah mengendus karena ingusnya yang mengucur.
                ‘Adek besok besar mau jadi apa’
                ‘Jadi tukang bubur bang’ jawab dia santai
                ‘Loh kok tukang bubur’
                ‘Iya bang, supaya bisa naik haji’. Mulut gue menganga dengar jawabanya, padahal gue mau bilang ‘Kenapa nggak jadi tukang foto copy aja’. karena pada saat itu, ada nyokap gue datang lalu gue urungkan niat gue untuk bertanya itu. Kalau gue terusin, takutnya nyokap bakal bilang ke gue ‘Kecil sekali cita-cita kamu tur jadi tukang foto copy’ atau ‘Kenapa kamu nggak buka usaha foto copy dan alat tulis kantor’.

                Itulah yang terjadi sama gue, sejak kecil cita-cita gue adalah pemain sepak bola, karena menjanjikan. Tapi sebenarnya, gue adalah orang yang termasuk banyak mempunayai cita-cita. Gue orang yang gak bisa fokus, ketika ada hal yang menarik, gue pengen ikut mencoba dan ketika ada hal lain yang menurut gue asik, gue pengen ikut mencoba juga.
                Karena gue sering nonton acara sepak bola, gue pengen jadi seperti mereka dan gue udah berusah dari mulai ikut seleksi kecamatan, hingga jadi pemain sekolah. Dan ternyata belum berhasil, meskipun nyokap sering bilang ‘pemain bola yang namanya Guntur belum ada loh’.
dan gue anggap itu motivasi.
                Nggak cukup gue gaggal, ternyata kakek gue malah nggak setuju. hal tersebut terlihat saat gue mau pergi latihan, saat itu gue sedang siap-siap dengan jersey gue, sepatu dan sarung tangan (karena gue penjaga gawang). Sebagai cucu yang baik, gue pamitan guna mendapat restu dari nenek.
                ‘Mbah, aku pergi latihan ya’ jerit gue dari kamar
                ‘Iya hati-hati, jangan pulang kesorean’ jawab nenek dan tiba-tiba kakek memotong pembicaraan.
                ‘Mau kemana dia’ tanya kakek
                ‘Main bola’ jawab nenek yang waktu itu baru selesai mencuci piring
                ‘Main bola terus, nanti motor itu rusak kalau rusak perlu biaya’ kesal kakek gue.
Gue nggak tau apa yang dipikirkan oleh sang kakek sehingga beliau masih semapt-sempatnya bicarain soal motor.
                Gue berharap waktu itu kakek bakal bilang.
                ‘Iya, hati-hati ya. Salam buat pelatihnya’. Tapi ternyata dia bilang.
                “MAIN BOLA TERUS, JADI PEMAIN NGGAK JUGA”.
Gue tertegun, gue udah sempat mau banting motor dengar kakek gue bilang gitu. Ocehan kakek seolah tertutupi dengan suara hentakan sepatu gue yang menghentak keramik rumah. Gue berusaha sabar, gue lanjutin apa yang seharusnya gue lakukan. Gue udah naik pitam, gigi atas dan gigi bawah sudah bergesekan seolah menunjukan kegeraman dan bibir pun manyun lima senti.

                Setelah gue anggap sepak bola gagal, gue nggak patah semangat, gue cari kegiatan lain yang kira-kira bisa gue jadiin cita-cita. Dan ketemulah yang namanya sulap. Awalnya gue sering nonton acara sulap gue perhatiin ini menarik untuk di lakukan, dan akhirnya gue belajar sulap. Gue pergi ke toko buku dekat rumah gue setelah dapat info dari teman gue kalau di sekitar sini ada jual buku sulap. Dan gue beli beberapa buku sulap dan gue pelajari semuanya. Tapi nyatanya gue cuma terkenal di komplek rumah gue aja, bahkan kalau ada anak kecil lewat dia selau bilang ‘Bang, sulapnya dong bang’. Gue udah kayak pak Tarno, di gandrungi oleh anak-anak kecil. Bahkan ada anak kecil yang datang menghampiri gue sambil berkata ‘Ayo abang, kita tukaran trik sulap’. yang paling kesal pada saat mau nunjukin trik, mereka nggak ada kagum-kagumnya.
                Seolah pesulap profesional gue berkata ‘Lihat tangan saya’
                ‘emang kenapa tangan lo’
                ‘gue punya koin bisa tembus’
                ‘oh, mau sulap ya. Bilang dong dari tadi’.
Gue lesu, melihat teman gue nggak sadar kalau gue mau sulap. Mendengar respon seperti itu, gue urungkan niat gue. (malang).

                Setelah sulap gue anggap gagal, gue coba cari hal lain seperti bermain playstation, atau nongkrong bareng teman-teman alay yang setiap sore di depan kantor yang sudah tutup lalu mendirikan motornya dengan posisi yang sama berjejer kurang lebih kayak sorum motor bekas.
                Hal seperti ini gue lakukan pada saat gue nganggur setahun, pasca lulus dari SMA. Gue coba cari kegiatan saat gue terjebak dalam kolesterol tinngi.
                Pada saat gue masih dalam kejayaan dalam status pengangguran, kakek gue masuk rumah sakit, dan gue masih (nganggur). Jadi gue harus menemani kakek tidur di Rumah Sakit. Saat itu gue nggak bisa tidur, tiap menit perawat masuk saat gue loyo karena ngantuk masuk lagi perawat yang sama apalagi perawatnya cewek. Rada-rada nggak enak tidur saat perawat cantik itu masuk, karena gue ileran, gue gak mau perawat itu melihat gue terlentang dengan mulut menganga dan melihat proses terbentuknya pulau di bibir gue, jadi gue memilih untuk tidak tidur.
                Gue berpikir jadi perawat ternyata enak juga, selain mulia pekerjaanya, bisa juga ganggu orang tidur apalagi cewek perawat cantik-cantik, saat itu terbesit di pikiran gue. “Kalo gue nggak jadi perawat, dapat istri perawat juga boleh”.
                Gimana gue mau jadi perawat, gue aja nggak kuliah pasca lulus SMA (baca;nganggur).
Dan gue ingat dokter yang mengoperasi kakek gue waktu itu, badanya gemuk, suaranya merdu dan waktu itu orangnya mudah diingat sekali karena satu hal.... Botak.
                Dokter itu spsialis bedah urologi, namanya Hendra, tiap pagi dokter botak itu masuk ke ruangan kakek gue guna mengecek keadaan pasien.
saat gue nyantai di luar ruangan, gue berpikir lagi jadi dokter kayaknya bagus, keren lagi bisa bedah ini, bedah itu, di tambah lagi istri perawat, klop banget. Tapi di sisi lain biaya kuliahnya yang besar gue dan gue kembali termenung, meskipun biaya kuliahnya besar tapi tak sebesar hidung teman gue.

                Semua hal yang gue lihat tampak istimewa, gue nggak bisa fokus terhadap satu tujuan cita-cita gue nggak begitu jelas. Gue masih ingat saat gue lulus dari SMA gue sempat kembali lagi ke situ guna mengambil ijazah. Saat itu gue dihadapkan oleh sebuah buku yang tampak berisi data lengkap dan terbagi dalam beberapa kolom.
Kolom pertama bertuliskan Nama lengkap, kolom kedua berisi tanggal lahir sampai ke kolom terakhir tertulis “Perguruan Tinggi”. Untuk mengisi kolom pertama dan kedua gue nggak ada masalah sampai dikolom terakhir gue sempat lama berpikir gue mau mengisi apa, ini tidak sesuai yang gue alami apa gue harus tulis situ “Universitas Pengangguran Indonesia”.
                Gue sempat melihat tulisan teman-teman gue sebelumnya, ada yang nulis “Akademi Keperawatan” ada yang nulis “Universitas Negri Jambi” bahkan sahabat-sahabt gue yang paling stres di kelas pada saat itu bisa-bisanya di menulis “Universitas Negri Yogyakarta”. Luar biasa.
Ya sahabat gue semuanya berlabel Universitas. Gue kelamaan mikir, nggak sempat lagi gue berpikir karena udah kelamaan mikir. Saat itu kalau anak kuliahan pasti keren dan selalu di kerubungi wanita-wanita kampus, kalau itu bisa menaikan derajat gue sebagai pengangguran, gue bakal tulis “Universitas Indonesia” di kolom terakhir. Tapi gue berusaha sebijak mungkin dan tidak mengisi kolom terakhir.
                Sekarang gue nggak tau lagi apa yang ada di pikiran para guru-guru gue. Mungkin guru-guru berpikir ‘Nggak nyangka, murid sebaik dia bisa berbuat seperti ini’ atau ‘Guntur sekarang udah bisa shuflle dance ya’.
                Saat SMA gue ngadain pertandingan sepak bola antar kelas, gue sempat datang kelapangan untuk nonton, sekadar mencari kegiatan di kala pengangguran. Dan gue berharap semoga adek kelas gue bakal nyium tangan gue nanti saat ketemu gue tapi, harapan tinggalah harapan, malah adek kelas gue manggil gue dengan sebutan ‘Om’. Dan alhasil tangannpun tak jadi dicium dan tiba-tiba selangkangan jadi kesemutan.
                Saat itu gue datang dengan status pemain pinjaman, hm maksud gue status Alumni. Gue datangi mereka satu persatu dan ternyata ‘Kalian terlau cepat besar'.
                Gue datang kayak artis yang di eluh-eluhkan oleh para fans, mereka nyapa gue.
                ‘Bang Guntur ya?’ tanya seorang adek kelas gue
                ‘Iya, lupa ya?’ jawab gue setengah senyum
                ‘Ya ampun abang. Gendut banget sekarang makan apa sih bang’. respon gue Cuma cengengesan. Hehehe. Hehehe. Hehehe.
                Yang bikin gue bingung juga saat itu adalah mereka bertanya soal Universitas. layaknya orang pasca lulus SMA adek kelas mereka bertanya kuliah dimana sekarang. Dan itu terjadi sama gue, saat adek kelas gue bertanya ‘Kuliah dimana sekarang bang’?. Kenapa mesti ada pertanyaan seperti itu, kenapa mereka nggak tanya ‘Abang, lagi apa?’ atau ‘Udah makan belum bang?’ atau ‘Abang I Love You’.
               
                Jujur saat mereka bertanya seperti itu gue nggak tau mesti jawab apa. kalau memang berbohong bisa membuat derajat gue naik juga sebagai pengangguran, gue bakal jawab ‘Abang sekarang kuliah di Universitas Indonesia’.
                Tapi gue lebih memilih untuk tidak menjawab, gue diam tanpa kata dan berusaha mengalihkan perhatian seperti ‘Kamu cantik sekali hari ini’ atau ‘Kamu udah putus sama cowok kamu’.
                Gue jadi ingat pertama kali gue kenalan sama cewek di Facebook, waktu itu via chatting, dan waktu itu juga gue masih (nganggur). Gue coba beranikan diri untuk mencari gebetan di kala pengangguran. Karena zaman sudah serba canggih, lewat jejaring sosial kita bisa kenalan dengan seseorang, meskipun kita nggak tau siapa orang itu.
                Gue seleksi satu persatu, layaknya acara Take Me Out gue pilih cewek mana yang paling cantik untuk seorang pengangguran macam gue. Dan untuk diketahui pemirsa, bahwa semua cewek di Facebook saat itu cantik-cantik semua. Entah kenapa gue bisa bilang gitu, apa mungkin efek Jomblo yang sudah bertahun-tahun dak bertemu wanita atau mata gue yang juling. Yang gue tau Jomblo nggak pernah memandang siapa cewek yang bakal dia kenal, mau cantik mau jelek pun yang penting gebetan.

                Setelah sekian lama mencari, akhirnya gue ketemu teman chatting gue. Anggaplah nama Facebook nya “Sh4m14thun 1n61n d1 m3n63%ti”.
Awal chatting terlihat normal. Gue nulis.
                ‘Hai’ dengan emotion senyum titik dua tutup kurung gue, dan tak lama kemudian dia balas
                ‘Hai juga’ tapi tanpa emotion, gue juga sempat kaget dia balas chatt gue, lalu pembicaraan berlanjut sampai sekian lama chatting munculah pertanyaan tersulit (dalam hidup gue).
                ‘Kamu kuliah dimana?’. Gue harus jawab apa ? Apa gue harus bilang nganggur gitu, kalo memang label Universitas bisa menaikan pamor gue sebagai pengangguran, gue bakal jawab “Institut Tekhnologi Bandung”.Tapi gue lebih memilih untuk tidak membalas chatt dia. kejadian seperti ini bukan sekali ini saja, bahkan ini sudah yang keempat kalinya.
                Setelah gue teliti dari berbagai sumber yang ada, gue pernah baca di salah satu akun di Twitter. Disitu menjelaskan bahwa ‘75% wanita tidak suka berkencan sama pria pengangguran’. Dan gue sadar akan hal itu. Itu alasan gue kenapa gue lebih memilih diam tanpa kata daripada mejawab.
                Bukan itu saja, kediaman ini berlanjut pasca lulus dari SMA, karena gue tau gue nggak bakal kuliah. Pada saat itu bulan ramadhan, teman gue ngajak untuk berbuka bersama di salah satu cafe. Ya betul cafe. Seumur hidup gue baru kali ini main ke cafe, biasa juga main di warteg makan pun pakai tangan dengan satu kaki di atas kursi. Dan ini di cafe. Gue berpikir, meskipun gue pengangguran, gue akan tampil se-elegan mungkin. Gue coba baju yang ada di lemari gue dan yang ada ternyata hanya batik merah andalan gue, sisanya baju sobek bin kotor dan kaleng susu buat gue kerja di lampu merah nanti.... ngemis.

                Setelah sampai di cafe, ada sedikit hal yang bikin gue ganjal. Gue melihat kenapa di cafe ini ada banyak sekali Deddy Corbuizer berkeliaran di cafe ini. Apa mereka mau belajar sulap atau mereka terkena kanker otak gue nggak tau, yang jelas cafe itu berubah suasana jadi tempat para berkumpulnya manusia setengah botak.
                Gue berusaha enjoy dengan suasana ini, ketika gue berjabat tangan dengan mereka gue bertanya ‘Gimana kuliahnya?’ dan mereka menjawab ‘Kita baru mau ospek tur’ jawab mereka lesu. Dan ternyata, kebotakan ini disebabkan oleh penyakit baru yaitu.... ospek. Disitu gue lega.
                Saat itu gue habiskan waktu gue dengan diam tanpa kata, sambil mengotak-atik handphone yang sudah bertahun-tahun tak menerima SMS lagi, sembari mendengarkan mereka bercerita tentang Universitas masing-masing, ada yang calon dokter, ahli hukum, ahli ekonomi bahkan sampai ahli membuat anak pun ada.
                Gue juga ingat yang bisa gue lakukan selain diam adalah, gue pergi ke toko dan membeli sekotak baygon dan menghidupkanya sambil berharap tak ada nyamuk yang menggigit mereka. Atau gue yang jadi baygon mereka, sambil berharap salah satu teman gue bilang ‘Guntur, obat nyamuknya habis, cepat bikin lagi.’ lalu gue menjawab ‘Baik pak’.

                Kediaman ini masih terus berlanjut, meskipun gue sudah berusaha membuka cerita duluan kepada mereka, tapi yang gue senag sama mereka adalah sikap respectnya. Mereka paham posisi gue dan tentu gue senang dengan sikap itu. Tapi tetap, ketika mereka berbicara soal fakultas atau dunia perkuliahan, gue lebih memilih diam.
                Teman gue Irfan, dia sempat kaget dengar gue nggak bisa kuliah. Ketika kami mengobrol.
                ‘Gimana bung, lanjut ?’ tanya dia santai, lalu gue jawab datar.
                ‘Belum bung’
                ‘Gue ngerti bung’
                ‘Terima kasih bung’ jawab gue lega
                ‘Dengar lo yang katanya nggak kuliah, gue pengen banget bantu, tapi mau gimana’
                ‘Santai bung, rezeki nggak kemana’ jawab gue penuh tawa.

                Gue ingat apa kata salah satu guru gue, beliau juga kaget dengar gue nggak kuliah. Ketika dia bertanya.
                ‘Kuliah dimana tur’ saat dia tanya seperti itu gue pengen jawab
                ‘Universitas Celana Dalam’ karena gue berusaha bijak gue menjawab
                ‘Belum bu’
                ‘Ibu ngerti nak’ jawab dia lesu, lalu gue jawab denagn lesu pula
                ‘Memang, ekonomi selalu jadi masalah klasik ya bu’ yang kebetulan ibu itu juga guru ekonomi, gue sengaja bikin pernyataan seperti itu, pengen tau apa respon dia, lalu dia menjawab.
                ‘Iya terkadang seperti itu, tapi bicara soal kuliah, kita juga baca soal kesempatan, tahun ini mungkin belum, insya allah tahun depan’ jawab dia.
               
                Gue terdiam sejenak, dan berpikir. Betul. Ada yang bilang kesempatan itu datangnya sekali, tapi tidak untuk menuntut ilmu. Ketika kita ingin terus berusaha untuk mengejar ilmu, maka kesempatan itu akan datang silih berganti.
                Teman gue banyak bilang ‘Kuliah nggak ada batas umur bung’ atau ‘Kerja dulu kayaknya bagus bung, cari pengalaman. Kuliah gampang’.

                Lo pikir pengangguran nggak boleh punya cita-cita, yaa mungkin saat guru bertanya ‘Apa cita-cita kalian’ gue lagi ke WC atau nggak masuk sekolah.
                Atau pengangguran nggak bisa jadi pemain bola, perawat atau istri perawat atau pengangguran nggak boleh punya pacar dan apa pengangguran kerjanya hanya diam saja dan jadi baygon??
                Tidak, lo jangan pernah berpikir siapa lo sekarang, yang penting adalah apa yang bisa lo beri untuk mereka yang lo cintai. Terkadang lo nggak perlu menjadi orang istimewa di depan orang istimewa. Lo harus maksimalkan apa yang ada dalam diri lo dan yakinlah pada suatu hari nanti lo bakal bangga dengan apa yang lo dapat, asal lo mau maksimalkan potensi lo, karena gue yakin bukan gue saja yang punya banyak cita-cita.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More