Selasa, 26 Maret 2013


CERITA gue awali saat pertama gue masuk SMA. Nggak ada yang istimewa saat pertama gue pake putih abu-abu, paling awalnya Cuma risih karena dari TK sampai SMP harus pake celana pendek tiba di SMA harus pake celana panjang.
                Gue sekolah di SMAN 10 Batang Hari, terdengar asing di telinga lo, tapi tidak untuk seorang siswa pelarian kayak gue. Ya betul pelarian. Karena gue waktu itu ikut tes SMA bertaraf internasional. Awalnya oke-oke aja saat gue ketemu teman SD gue dan sampai pada akhirnya di saat pengumuman tes gue dinyatakan tidak lulus.
Ini kedua kalinya gue nggak bisa ikut gabung bareng teman lama gue, setelah yang pertama SMP dulu gue juga nggak bisa ikut gabung sama mereka yang sekolah di SMP bertaraf internasional juga. mungkin mereka tau tingkat kebodohan bin kebegoan gue sampai dimana, dan akhirnya dengan kepala tertunduk gue lari setelah dinyatakan TIDAK LULUS (sengaja di caps lock biar dramatis) ke SMA tetangganya yaitu SMAN 10.
Pertama kali gue lihat SMA ini, lebih kurang seperti sekolah hantu, siang aja sepi apalagi malam, rumput liar panjang mencuat dengan indahnya. Gue berpikir ini sekolah apa hutan, dengan hawa yang begitu dingin (siang-siang dingin). Setelah gue sempat melihat secara pintas SMA itu, gue memutuskan keesokan harinya gue akan kesitu untuk mendaftar.
Gue juga nggak tau kenapa gue bisa tertarik untuk pergi kesitu, mungkin sekolah itu punya daya magnet tersendiri, agar pengunjung bisa tertarik masuk kesitu. (dufan kali ya). Atau punya daya tarik tersendiri agar siswa yang gagal tes bisa masuk kesini, saat gue masuk dan berjalan selangkah demi selangkah menuju kantor sekolah sepi itu dan menyapa.
‘Assalamualikum’ seru gue sambil berharap keramahan dari mereka.
‘Waalaikumssalam’ jawab dari salah satu guru ‘Masuk dek, mau daftar ya’ tanya dari salah satu guru.
‘Iya buk, saya mau ngambil formulirnya’ nggak lama kemudian, guru itu mengambil formulir pendaftaran buat gue isi.
‘Ini formulirnya’ di kasih ke gue ‘Diisi ya, nanti kalo udah di isi balik lagi kesini’
‘Disini nggak pake tes ya buk’ tanya gue bingung.
‘Nggak kok pokoknya isi aja formulir itu’.
Dengar ibu itu ngomong kalo disini nggak pake tes, gue gondok setengah hidup. Kenapa gue relain waktu gue buat tes SMA berblablabla itu, dan akhirnya gue nggak lulus juga. Mending gue dari awal kesini nggak pake ribet dan nggak pake tes dan wajah pun terhindar dari rasa malu akibat tidak lulus tes. terlihat bego saat teman lama lulus dari tes SMA berblabla itu, sedangkan gue nggak. Selain terlihat bego juga terlihat malu. Malu karena kebodohan gue.

                Setelah formulir sudah gue selesai isi, besoknya gue datang lagi ke SMA itu. Kali ini sudah agak terlihat ramai dengan adanya orang-orang yang mendaftar, gue berpikir mungkin mereka adalah siswa pelarian juga yang nggak lulus tes SMA berblablabla itu. Hahahaha ternyata bukan gue aja yang bego, tapi ada satu hal yang bikin gue ganjal, apa mungkin gue salah pake celana dalam atau gue lupa pake celana dalam, yang jelas ada yang aneh. Tampang orang-orang yang mendaftar disini desa, pas datang ke SMA mereka pakai baju SMP dengan warna yang sudah pudar, sepatu sobek dan muka pas-pasan. Untung mereka nggak datang dan nyamperin gue sambil berkata ‘Bang sedekahnya bang belum makan dari SD’ karena gue nggak bawa duit. Dan juga mereka mendaftar tidak sendiri, ada yang bawa ibu bapak kakek nenek om tante, sedangkan gue sendiri.
                Setlah memarkir si ungu dan gue berjalan selangkah demi selangkah, gue sempat melihat rumput kemaren dan ternyata rumput itu belum di cukur juga. Karena gue waktu itu pakai celana pendek khas SMP, alhasil kaki pun gatal-gatal setelah melalui rumput biadap itu. Mungkin sekolah disini memiliki obsesi menjadikan sekolah nya menjadi hutan lindung. Setelah berjalan di atas rumput, pandangan gue beralih ke calon teman-teman (desa) baru gue yang mendaftar. Dan langsung gue berjalan menuju kantor guna memberikan formulir yang sudah gue isi, sambil mengetuk pintu hatinya eeh pintu kantornya.
                ‘Assalamualikum’ seru gue yang kembali berharap keramahan dari mereka.
                ‘Waalaikumsalam, masuk’ jawab dari salah satu guru.
                ‘Ini buk formulirnya’ sambil menyodorkan tangan ‘Sudah saya isi’ kata gue grogi, dan guru itu sejenak melihat formulir yang gue isi.
                ‘Oke, besok datang lagi ya kesini pake baju SMP lengkap’ seru ibu itu ‘Karena besok ada pengumuman lulus atau nggaknya’ kata ibu itu sambil tersenyum lebar.
                ‘Disini emang benar-benar nggak pake tes ujian gitu ya buk’ tanya gue masih bingung.
                ‘Nggak pokonya besok datang aja lagi ya’
                ‘Iya buk’ jawab gue lesu.

                Dan disini benar-benar nggak pake tes, terbuka untuk umum kayak wahana. Pantas orang-orang yang mendaftar banyak dari berbagai desa, yang tampangnya pas-pasan itu. Sebenarnya gue nggak yakin, dari tadi gue menghina orang terus apa gue merasa ganteng. (ya iya lah gue gitu loh).
                Setelah pulang dari sekolah hutan itu, kakek gue langsung nanya. Karena dia yang paling cerewet dirumah ini. Sebagai mantan intel, gue udah kayak pelaku yang habis memutilasi keluarga orang, dan tertangkap dan di introgasi. Dan yang tukang introgasi itu adalah kakek gue. Sampai stres gue dibuat kakek oleh banyaknya pertnayaan.
                ‘Udah daftar sekolah’ tanya kakek gue lantang dengan gaya bicara keras khas Palembang.
                ‘Udah’ jawab gue datar
                ‘Ketemu sama siapa disana’
                ‘Sama orang desa’ jawab gue manyun
                ‘Orang desa gimana’ tanya kakek gue dengan menaikan nada bicara sekitar ¾. Gue udah benar-benar kayak pelaku penjahat yang sedang di introgasi saat itu.
                ‘Ya iya lah, yang daftar semuanya orang desa. ntah dari desa mana’ kakek gue Cuma ketawa ringan.
                ‘Hahaha, yang kamu lihat baru sebagian kan belum sepenuhnya’.
 Yaa sebagian aja udah desa, apalagi seluruhnya nanti. Bisa-bisa pas lagi perkenalan, mereka bakal bercerita tentang budaya mereka masing-masing. Seperti pada saat mereka boker, mereka selalu pergi ke sungai dan mandi di sungai yang sama.

                Besoknya gue bersiap dengan baju SMP lengkap gue, guna mendengar pengumuman lulus atau tidaknya. Meskipun gue udah yakin 100% gue bakal lulus, secara nggak pake tes jadi keyakinan pun menyelubungi hari gue saat itu. Saat gue datang ternyata suasana pun berubah jadi ramai tentunya, penuh dengan orang-orang (desa).
Dan pada akhirnya, tibalah saat pengumuman dan keyakinan itu pun tidak sia-sia. Gue lulus dengan sukses bin berhasil. Ini terlalu mudah untuk siswa yang mengharapkan ke instanan.
                Setelah pengumuman selesai, ada salah satu guru yang berdiri di atas mimbar dan berkata.
                ‘Yang dinyatakan lulus, besok harus datang lagi guna menghadiri MOS’.
Gue sempat garuk-garuk kepala kayak monyet impoten, kebingungan dengan kata MOS. Berhubung gue orang yang pemberani, gue bertanya pada salah satu calon teman baru gue. Karena gue belum kenal sama sekali, jadi gue panggil si calon teman baru gue itu dengan sebutan “abang”. Nggak tau kenapa gue bisa panggil dia dengan sebutan “abang”, padahal kita baru sama-sama masuk SMA bisa-bisanya gue manggil dia “abang”. Hina.
                ‘Maaf bang’ sapa gue berharap keramahan ‘MOS itu apa ya’.
                ‘Masa Orientasi Siswa’. jawab dia sumringah
                ‘kerjaanya ngapain aja bang’. lanjut gue masih manggil abang
                ‘Nanti kita bakal di kerjain’.
Gue terdiam sejenak, dan gue mencoba ingat-ingat. Di sekolah ini, gue punya kenalan kakak kelas teman main bola gue, waktu gue selesai daftar disini, dia bilang di lapangan waktu mau main bola ‘Kapan ya gue bisa ngospekin lo tur’.
Kalo kata Ospek sih, itu sudah familiar di telinga gue, dan yang gue tau Ospek itu selalu dikerjain sama seniornya. Dan gue berpikir gue bakal di kerjain sama senior-senior disini. Ini tidak benar.
                Setelah gue manyun sejenak, gue bersiap untuk mendengarkan pengumumn berikutnya dari ibu gendut itu. Dan guru itu berkata lagi.
                ‘Besok kalian akan menjalani MOS, dan kalian di wajibkan untuk membawa pot bunga, yang mana pot itu akan menjadi tas kalian’. Gue berkata dalam hati ‘Buku gue nggak muat untuk satu pot bunga buk’. Lalu ibu gendut itu melanjutkan pidatonya ‘Dan juga kalian harus memakai kaos kaki beda warna’. Gue kembali bergumam dalam hati ‘Ini masih biasa, Cuma kaos kaki beda warna doang, paling nanti pergi sekolah dikira orang buta warna’. Dan setelah itu, ibu gendut itu mengeluarkan kata-kata yang tidak enak di dengar ole kaum laki-laki yaitu ‘Kalian juga harus membawa DASTER bagi yang cowok. Dan bagi yang cewek harus membawa kain SARUNG. (sengaja di capslock biar dramatis). Gue kembali bergumam dalam hati, kaget kayak pasien yang di vonis oleh dokter bahwa gue dinyatakan terkena kanker payudara. ‘Ini sudah di luar akal sehat’ gumam dalam hati gue ‘.
                Gue kesel setengah hidup, disuruh bawa DASTER (sengaja di caps lock lagi). Cukup gue kesel disuruh bawa pot bunga yang bakal jadi tas gue nanti dan kaos kaki beda warna, ini kenapa harus ditmabah DASTER. Ini pertanda, kiamat sudah dekat, dimana laki-laki harus berdandan seperti wanita dan wanita berdandan seperti pria. Untung mereka nggak nyuruh bawa make-up juga, maskara, lipstick, bulu mata palsu, bedak dan beha. Sampai itu terjadi gue sukses berdandan kayak banci mandi angin.
                Ini pelecehan, tidak berkeprisekolahan. Sekolah ini berniat menjadikan siswanya gigolo atau semacamnya. Kebayang kalau gue pake daster, lalu make-up, lipstick, bulu mata palsu anti tsunami dan beha. Lalu mereka memiliki itikad jahat ke gue berniat mau menjual gue ke luar negri dan di jadikan pembantu, lalu gue akan di bunuh majikan gue karena ketahuan kalo gue sebenarnya adalah laki-laki. (separah itukah). Lalu rencana untuk menjadi lebih ganteng di depan orang-orang desa itu gagal total setelah gue harus memakai DASTER biadab itu.

                Untung nenek gue adalah seorang kapiten. Ehh maksud gue nenek gue adalah seorang pengoleksi daster, jadi gue berusaha menjelaskan ke nenek kalo gue bakal jadi perempuan untuk beberapa saat besok. Malam harinya gue langsung kekamar nenek gue.
                ‘Mbah’ sapa gue ‘Punya daster nggak’ Tanya gue pelan
                ‘Untuk apa tur’ nenek gue kaget, mungkin nenek gue berpikir kalo gue sebenarnya di lahirkan sebagai wanita atau dia bakal bilang ke gue ‘Kamu kenapa cu, apa yang sebenarnya yang terjadi padamu, nenek membesarkan mu bukan untuk menjadi wanita’. Lalu pingsan.
                ‘Nggak mbah, besok aku ada MOS disuruh bawa daster nggak tau buat apa’ jelas gue, lalu nenek gue langsung beranjak dari tempat tidurnya dan memberikan gue beberapa daster yang dia punya.
                Sumpah gue bingung mau milih yang mana, dasternya bagus-bagus, ada yang warna pink corak bunga, ada warna hijau corak boneka ada juga warna putih tanpa corak (kain kafan).
                Setelah beberapa lama memilih daster layaknya wanita ketika membeli baju lamanya hingga jenggot ubanan, gue jatuhkan pilihan gue kepada daster warna putih corak boneka. Untung daster putih itu ada corak, kalau tidak, yang ada pas gue datang ke sekolah teman-teman gue pada lari ngelihat kuntilanak di siang bolong. Atau mereka bakal baca ayat kursi sampai gue kepanasan.

                Setelah beberapa barang gue siapan seperti pot bunga, kaos kaki beda warna dan.... Daster. Gue pun berangkat dari rumah menuju sekolah. Rencananya daster laknat itu bakal gue pake dari rumah ke sekolah, tapi gue urungkan niat gue karena gue ingat di simpang nanti bakal ada power ranger (baca;polisi). Yang ada gue nanti di perkosi sama power ranger patroli itu.
                Setelah sampai di sekolah ada yang bikin gue ganjal, di lapangan ada 3 benda mencurigakan yang pertama mikrofon, tape dan bola kaki. Gue masih bingung kenapa benda ini ada di lapangan. Hipotesis gue menyatakan bahwa, pertama; mungkin bakal ada SMASH datang ke sekolah. Kedua; bakal ada Bambang Pamungkas main bola bareng gue nanti atau yang ketiga; gue bakal main bola menggunakan benda yang telah gue bawa ini seperti daster. Sekali lagi MAIN BOLA PAKE DASTER.
                Dan ternyata betul hipotesis gue, gue bakal MAIN BOLA PAKE DASTER. Kusut punya usut, rupanya tape itu sudah diisi dengan lagu dangdut yang mana nanti gue main bola pake daster dan diiringi lagu dangdut. Peraturanya saat musik hidup kita mulai berjoget di lapangan dan ketika musik berhenti, lanjut lagi main bola. gue menjerit dalam hati “INI SEKOLAH APAAAAAAAAAAA”.
                Saat yang paling menjijikan adalah waktu gue masuk ke kelas untuk pengarahan MOS, dan di suruh keluar lagi. Salah satu guru laki-laki paruh baya yang berbicara berkata pada kami ‘Silahkan kalian keluar, dan bentuk tim untuk bermain bola tapi menggunakan daster, jika tidak ada yang pakai, akan saya cubit tetek kalian’. Mendengar bapak guru itu berbicara gitu, ada dua hal yang terlintas di benak gue. Yang pertama; Gue berpikir bapak itu pasti nggak punya tetek, mau nyubitin tetek orang atau kedua; dia homo.
                Setelah di intruksikan keluar dan di ancam di cubit tetek, gue langsung buru-buru pake daster itu. Disitulah kiamat pun berlangsung, gue seolah-olah tenggelam oleh daster laknat itu. Karena gue cowok gue bener-bener nggak tau gimana make daster ini dan saat romantis bin busuk pun tiba saat gue nggak bisa pakai daster itu. Adalah. Gue dipakein daster sama salah satu kakak kelas cewek. Ini najis abis, gue malu setengah hidup cewek itu makein gue daster seolah -olah dia adalah master of daster.
                ‘Adek nggak bisa pake daster ya’, sapa dia ‘sini kakak pakein’
                ‘Nggak usah kak aku bisa kok’ protes gue
                ‘Udah sini cepat, nanti tetek lo kena cubit’ (kalo yang nyubit teteknya lo sih gue mau kak) Dan cewek itu langsung bergerak memakaikan gue daster, sumpah ini romantis bin gila binti sinting. Hancur martabak gue sebagai pria sejati, saat cewek itu memkaikan gue daster. Tentu ini di luar skenario, dimana awalnya gue ingin terlihat elegan di depan orang-orang desa itu, tapi semua itu hancur karena satu hal....Daster.
                ‘Tangannya masuk kesini dek’ sambung dia
                ‘Kemana kak, aku nggak tau’
                ‘Ihh bego ah, gini aja nggak bisa, baru juga daster’
                ‘Emang kakak kemaren main bola pake apa’ tanya gue lugu
                ‘Pake kebaya’.
Sebelum tim gue main, gue sempat melihat cewek-cewek yang ikut proses MOS. Hanya satu yang berbeda dari yang cowok, kalau cewek mereka disuruh bawa kain sarung, dan yang cowok bawa daster. Mereka terlihat biasa-biasa aja main bola voli pake kain sarung, dibanding nasib para cowok yang disuruh main bola pake daster, dan di ancam pula di cubit tetek. Sedangkan mereka tidak ada beban sama sekali dan tak perlu risau dengan ancaman cubit tetek, karena mereka sudah punya masing-masing.
Saat tim gue main, gue masuk kelapangan dengan wajah melas, persis kayak orang udah nggak BAB 8 bulan. Dengan pakaian yang tidak lazim, gue pun langsung tendang sana tendang sini. Saat itu gue nggak yakin sama performa gue diatas lapangan karena gue mengalami cedera batin karena di sleding oleh pemain yang namanya. Daster.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More