CERITA gue awali saat pertama gue masuk
SMA. Nggak ada yang istimewa saat pertama gue pake putih abu-abu, paling
awalnya Cuma risih karena dari TK sampai SMP harus pake celana pendek tiba di
SMA harus pake celana panjang.
Gue sekolah di SMAN 10 Batang
Hari, terdengar asing di telinga lo, tapi tidak untuk seorang siswa pelarian
kayak gue. Ya betul pelarian. Karena gue waktu itu ikut tes SMA bertaraf
internasional. Awalnya oke-oke aja saat gue ketemu teman SD gue dan sampai pada
akhirnya di saat pengumuman tes gue dinyatakan tidak lulus.
Ini kedua kalinya gue nggak bisa ikut gabung bareng teman lama gue,
setelah yang pertama SMP dulu gue juga nggak bisa ikut gabung sama mereka yang
sekolah di SMP bertaraf internasional juga. mungkin mereka tau tingkat
kebodohan bin kebegoan gue sampai dimana, dan akhirnya dengan kepala tertunduk
gue lari setelah dinyatakan TIDAK LULUS (sengaja di caps lock biar dramatis) ke
SMA tetangganya yaitu SMAN 10.
Pertama kali gue lihat SMA ini, lebih kurang seperti sekolah hantu,
siang aja sepi apalagi malam, rumput liar panjang mencuat dengan indahnya. Gue
berpikir ini sekolah apa hutan, dengan hawa yang begitu dingin (siang-siang
dingin). Setelah gue sempat melihat secara pintas SMA itu, gue memutuskan
keesokan harinya gue akan kesitu untuk mendaftar.
Gue juga nggak tau kenapa gue bisa tertarik untuk pergi kesitu, mungkin
sekolah itu punya daya magnet tersendiri, agar pengunjung bisa tertarik masuk
kesitu. (dufan kali ya). Atau punya daya tarik tersendiri agar siswa yang gagal
tes bisa masuk kesini, saat gue masuk dan berjalan selangkah demi selangkah
menuju kantor sekolah sepi itu dan menyapa.
‘Assalamualikum’ seru gue sambil berharap keramahan dari mereka.
‘Waalaikumssalam’ jawab dari salah satu guru ‘Masuk dek, mau daftar ya’
tanya dari salah satu guru.
‘Iya buk, saya mau ngambil formulirnya’ nggak lama kemudian, guru itu
mengambil formulir pendaftaran buat gue isi.
‘Ini formulirnya’ di kasih ke gue ‘Diisi ya, nanti kalo udah di isi
balik lagi kesini’
‘Disini nggak pake tes ya buk’ tanya gue bingung.
‘Nggak kok pokoknya isi aja formulir itu’.
Dengar ibu
itu ngomong kalo disini nggak pake tes, gue gondok setengah hidup. Kenapa gue
relain waktu gue buat tes SMA berblablabla itu, dan akhirnya gue nggak lulus
juga. Mending gue dari awal kesini nggak pake ribet dan nggak pake tes dan
wajah pun terhindar dari rasa malu akibat tidak lulus tes. terlihat bego saat
teman lama lulus dari tes SMA berblabla itu, sedangkan gue nggak. Selain
terlihat bego juga terlihat malu. Malu karena kebodohan gue.
Setelah formulir sudah gue
selesai isi, besoknya gue datang lagi ke SMA itu. Kali ini sudah agak terlihat
ramai dengan adanya orang-orang yang mendaftar, gue berpikir mungkin mereka
adalah siswa pelarian juga yang nggak lulus tes SMA berblablabla itu. Hahahaha
ternyata bukan gue aja yang bego, tapi ada satu hal yang bikin gue ganjal, apa
mungkin gue salah pake celana dalam atau gue lupa pake celana dalam, yang jelas
ada yang aneh. Tampang orang-orang yang mendaftar disini desa, pas datang ke
SMA mereka pakai baju SMP dengan warna yang sudah pudar, sepatu sobek dan muka
pas-pasan. Untung mereka nggak datang dan nyamperin gue sambil berkata ‘Bang
sedekahnya bang belum makan dari SD’ karena gue nggak bawa duit. Dan juga mereka
mendaftar tidak sendiri, ada yang bawa ibu bapak kakek nenek om tante,
sedangkan gue sendiri.
Setlah memarkir si ungu dan gue
berjalan selangkah demi selangkah, gue sempat melihat rumput kemaren dan
ternyata rumput itu belum di cukur juga. Karena gue waktu itu pakai celana
pendek khas SMP, alhasil kaki pun gatal-gatal setelah melalui rumput biadap
itu. Mungkin sekolah disini memiliki obsesi menjadikan sekolah nya menjadi
hutan lindung. Setelah berjalan di atas rumput, pandangan gue beralih ke calon
teman-teman (desa) baru gue yang mendaftar. Dan langsung gue berjalan menuju
kantor guna memberikan formulir yang sudah gue isi, sambil mengetuk pintu
hatinya eeh pintu kantornya.
‘Assalamualikum’ seru gue yang
kembali berharap keramahan dari mereka.
‘Waalaikumsalam, masuk’ jawab
dari salah satu guru.
‘Ini buk formulirnya’ sambil
menyodorkan tangan ‘Sudah saya isi’ kata gue grogi, dan guru itu sejenak
melihat formulir yang gue isi.
‘Oke, besok datang lagi ya
kesini pake baju SMP lengkap’ seru ibu itu ‘Karena besok ada pengumuman lulus
atau nggaknya’ kata ibu itu sambil tersenyum lebar.
‘Disini emang benar-benar nggak
pake tes ujian gitu ya buk’ tanya gue masih bingung.
‘Nggak pokonya besok datang aja
lagi ya’
‘Iya buk’ jawab gue lesu.
Dan disini benar-benar nggak
pake tes, terbuka untuk umum kayak wahana. Pantas orang-orang yang mendaftar
banyak dari berbagai desa, yang tampangnya pas-pasan itu. Sebenarnya gue nggak
yakin, dari tadi gue menghina orang terus apa gue merasa ganteng. (ya iya lah
gue gitu loh).
Setelah pulang dari sekolah
hutan itu, kakek gue langsung nanya. Karena dia yang paling cerewet dirumah
ini. Sebagai mantan intel, gue udah kayak pelaku yang habis memutilasi keluarga
orang, dan tertangkap dan di introgasi. Dan yang tukang introgasi itu adalah
kakek gue. Sampai stres gue dibuat kakek oleh banyaknya pertnayaan.
‘Udah daftar sekolah’ tanya
kakek gue lantang dengan gaya bicara keras khas Palembang.
‘Udah’ jawab gue datar
‘Ketemu sama siapa disana’
‘Sama orang desa’ jawab gue
manyun
‘Orang desa gimana’ tanya kakek
gue dengan menaikan nada bicara sekitar ¾. Gue udah benar-benar kayak pelaku
penjahat yang sedang di introgasi saat itu.
‘Ya iya lah, yang daftar
semuanya orang desa. ntah dari desa mana’ kakek gue Cuma ketawa ringan.
‘Hahaha, yang kamu lihat baru
sebagian kan belum sepenuhnya’.
Yaa sebagian aja udah desa, apalagi seluruhnya
nanti. Bisa-bisa pas lagi perkenalan, mereka bakal bercerita tentang budaya
mereka masing-masing. Seperti pada saat mereka boker, mereka selalu pergi ke
sungai dan mandi di sungai yang sama.
Besoknya gue bersiap dengan baju
SMP lengkap gue, guna mendengar pengumuman lulus atau tidaknya. Meskipun gue
udah yakin 100% gue bakal lulus, secara nggak pake tes jadi keyakinan pun
menyelubungi hari gue saat itu. Saat gue datang ternyata suasana pun berubah
jadi ramai tentunya, penuh dengan orang-orang (desa).
Dan pada
akhirnya, tibalah saat pengumuman dan keyakinan itu pun tidak sia-sia. Gue
lulus dengan sukses bin berhasil. Ini terlalu mudah untuk siswa yang mengharapkan
ke instanan.
Setelah pengumuman selesai, ada
salah satu guru yang berdiri di atas mimbar dan berkata.
‘Yang dinyatakan lulus, besok
harus datang lagi guna menghadiri MOS’.
Gue sempat
garuk-garuk kepala kayak monyet impoten, kebingungan dengan kata MOS. Berhubung
gue orang yang pemberani, gue bertanya pada salah satu calon teman baru gue.
Karena gue belum kenal sama sekali, jadi gue panggil si calon teman baru gue
itu dengan sebutan “abang”. Nggak tau kenapa gue bisa panggil dia dengan
sebutan “abang”, padahal kita baru sama-sama masuk SMA bisa-bisanya gue manggil
dia “abang”. Hina.
‘Maaf bang’ sapa gue berharap
keramahan ‘MOS itu apa ya’.
‘Masa Orientasi Siswa’. jawab
dia sumringah
‘kerjaanya ngapain aja bang’.
lanjut gue masih manggil abang
‘Nanti kita bakal di kerjain’.
Gue terdiam
sejenak, dan gue mencoba ingat-ingat. Di sekolah ini, gue punya kenalan kakak
kelas teman main bola gue, waktu gue selesai daftar disini, dia bilang di
lapangan waktu mau main bola ‘Kapan ya gue bisa ngospekin lo tur’.
Kalo kata
Ospek sih, itu sudah familiar di telinga gue, dan yang gue tau Ospek itu selalu
dikerjain sama seniornya. Dan gue berpikir gue bakal di kerjain sama
senior-senior disini. Ini tidak benar.
Setelah gue manyun sejenak, gue
bersiap untuk mendengarkan pengumumn berikutnya dari ibu gendut itu. Dan guru
itu berkata lagi.
‘Besok kalian akan menjalani
MOS, dan kalian di wajibkan untuk membawa pot bunga, yang mana pot itu akan
menjadi tas kalian’. Gue berkata dalam hati ‘Buku gue nggak muat untuk satu pot
bunga buk’. Lalu ibu gendut itu melanjutkan pidatonya ‘Dan juga kalian harus
memakai kaos kaki beda warna’. Gue kembali bergumam dalam hati ‘Ini masih
biasa, Cuma kaos kaki beda warna doang, paling nanti pergi sekolah dikira orang
buta warna’. Dan setelah itu, ibu gendut itu mengeluarkan kata-kata yang tidak
enak di dengar ole kaum laki-laki yaitu ‘Kalian juga harus membawa DASTER bagi
yang cowok. Dan bagi yang cewek harus membawa kain SARUNG. (sengaja di capslock
biar dramatis). Gue kembali bergumam dalam hati, kaget kayak pasien yang di
vonis oleh dokter bahwa gue dinyatakan terkena kanker payudara. ‘Ini sudah di
luar akal sehat’ gumam dalam hati gue ‘.
Gue kesel setengah hidup,
disuruh bawa DASTER (sengaja di caps lock lagi). Cukup gue kesel disuruh bawa
pot bunga yang bakal jadi tas gue nanti dan kaos kaki beda warna, ini kenapa
harus ditmabah DASTER. Ini pertanda, kiamat sudah dekat, dimana laki-laki harus
berdandan seperti wanita dan wanita berdandan seperti pria. Untung mereka nggak
nyuruh bawa make-up juga, maskara, lipstick, bulu mata palsu, bedak dan beha.
Sampai itu terjadi gue sukses berdandan kayak banci mandi angin.
Ini pelecehan, tidak
berkeprisekolahan. Sekolah ini berniat menjadikan siswanya gigolo atau
semacamnya. Kebayang kalau gue pake daster, lalu make-up, lipstick, bulu mata
palsu anti tsunami dan beha. Lalu mereka memiliki itikad jahat ke gue berniat
mau menjual gue ke luar negri dan di jadikan pembantu, lalu gue akan di bunuh
majikan gue karena ketahuan kalo gue sebenarnya adalah laki-laki. (separah
itukah). Lalu rencana untuk menjadi lebih ganteng di depan orang-orang desa itu
gagal total setelah gue harus memakai DASTER biadab itu.
Untung nenek gue adalah seorang
kapiten. Ehh maksud gue nenek gue adalah seorang pengoleksi daster, jadi gue
berusaha menjelaskan ke nenek kalo gue bakal jadi perempuan untuk beberapa saat
besok. Malam harinya gue langsung kekamar nenek gue.
‘Mbah’ sapa gue ‘Punya daster
nggak’ Tanya gue pelan
‘Untuk apa tur’ nenek gue kaget,
mungkin nenek gue berpikir kalo gue sebenarnya di lahirkan sebagai wanita atau
dia bakal bilang ke gue ‘Kamu kenapa cu, apa yang sebenarnya yang terjadi
padamu, nenek membesarkan mu bukan untuk menjadi wanita’. Lalu pingsan.
‘Nggak mbah, besok aku ada MOS
disuruh bawa daster nggak tau buat apa’ jelas gue, lalu nenek gue langsung
beranjak dari tempat tidurnya dan memberikan gue beberapa daster yang dia
punya.
Sumpah gue bingung mau milih
yang mana, dasternya bagus-bagus, ada yang warna pink corak bunga, ada warna
hijau corak boneka ada juga warna putih tanpa corak (kain kafan).
Setelah beberapa lama memilih
daster layaknya wanita ketika membeli baju lamanya hingga jenggot ubanan, gue
jatuhkan pilihan gue kepada daster warna putih corak boneka. Untung daster
putih itu ada corak, kalau tidak, yang ada pas gue datang ke sekolah
teman-teman gue pada lari ngelihat kuntilanak di siang bolong. Atau mereka
bakal baca ayat kursi sampai gue kepanasan.
Setelah beberapa barang gue
siapan seperti pot bunga, kaos kaki beda warna dan.... Daster. Gue pun berangkat
dari rumah menuju sekolah. Rencananya daster laknat itu bakal gue pake dari
rumah ke sekolah, tapi gue urungkan niat gue karena gue ingat di simpang nanti
bakal ada power ranger (baca;polisi). Yang ada gue nanti di perkosi sama power
ranger patroli itu.
Setelah sampai di sekolah ada
yang bikin gue ganjal, di lapangan ada 3 benda mencurigakan yang pertama
mikrofon, tape dan bola kaki. Gue masih bingung kenapa benda ini ada di
lapangan. Hipotesis gue menyatakan bahwa, pertama; mungkin bakal ada SMASH datang
ke sekolah. Kedua; bakal ada Bambang Pamungkas main bola bareng gue nanti atau
yang ketiga; gue bakal main bola menggunakan benda yang telah gue bawa ini
seperti daster. Sekali lagi MAIN BOLA PAKE DASTER.
Dan ternyata betul hipotesis
gue, gue bakal MAIN BOLA PAKE DASTER. Kusut punya usut, rupanya tape itu sudah
diisi dengan lagu dangdut yang mana nanti gue main bola pake daster dan
diiringi lagu dangdut. Peraturanya saat musik hidup kita mulai berjoget di
lapangan dan ketika musik berhenti, lanjut lagi main bola. gue menjerit dalam
hati “INI SEKOLAH APAAAAAAAAAAA”.
Saat yang paling menjijikan
adalah waktu gue masuk ke kelas untuk pengarahan MOS, dan di suruh keluar lagi.
Salah satu guru laki-laki paruh baya yang berbicara berkata pada kami ‘Silahkan
kalian keluar, dan bentuk tim untuk bermain bola tapi menggunakan daster, jika
tidak ada yang pakai, akan saya cubit tetek kalian’. Mendengar bapak guru itu
berbicara gitu, ada dua hal yang terlintas di benak gue. Yang pertama; Gue
berpikir bapak itu pasti nggak punya tetek, mau nyubitin tetek orang atau
kedua; dia homo.
Setelah di intruksikan keluar
dan di ancam di cubit tetek, gue langsung buru-buru pake daster itu. Disitulah
kiamat pun berlangsung, gue seolah-olah tenggelam oleh daster laknat itu.
Karena gue cowok gue bener-bener nggak tau gimana make daster ini dan saat
romantis bin busuk pun tiba saat gue nggak bisa pakai daster itu. Adalah. Gue
dipakein daster sama salah satu kakak kelas cewek. Ini najis abis, gue malu
setengah hidup cewek itu makein gue daster seolah -olah dia adalah master of
daster.
‘Adek nggak bisa pake daster ya’,
sapa dia ‘sini kakak pakein’
‘Nggak usah kak aku bisa kok’
protes gue
‘Udah sini cepat, nanti tetek lo
kena cubit’ (kalo yang nyubit teteknya lo sih gue mau kak) Dan cewek itu
langsung bergerak memakaikan gue daster, sumpah ini romantis bin gila binti
sinting. Hancur martabak gue sebagai pria sejati, saat cewek itu memkaikan gue
daster. Tentu ini di luar skenario, dimana awalnya gue ingin terlihat elegan di
depan orang-orang desa itu, tapi semua itu hancur karena satu hal....Daster.
‘Tangannya masuk kesini dek’
sambung dia
‘Kemana kak, aku nggak tau’
‘Ihh bego ah, gini aja nggak
bisa, baru juga daster’
‘Emang kakak kemaren main bola
pake apa’ tanya gue lugu
‘Pake kebaya’.
Sebelum tim
gue main, gue sempat melihat cewek-cewek yang ikut proses MOS. Hanya satu yang
berbeda dari yang cowok, kalau cewek mereka disuruh bawa kain sarung, dan yang
cowok bawa daster. Mereka terlihat biasa-biasa aja main bola voli pake kain
sarung, dibanding nasib para cowok yang disuruh main bola pake daster, dan di
ancam pula di cubit tetek. Sedangkan mereka tidak ada beban sama sekali dan tak
perlu risau dengan ancaman cubit tetek, karena mereka sudah punya
masing-masing.
Saat tim gue main, gue masuk kelapangan dengan wajah melas, persis
kayak orang udah nggak BAB 8 bulan. Dengan pakaian yang tidak lazim, gue pun
langsung tendang sana tendang sini. Saat itu gue nggak yakin sama performa gue
diatas lapangan karena gue mengalami cedera batin karena di sleding oleh pemain
yang namanya. Daster.
0 komentar:
Posting Komentar