Rabu, 04 September 2013

Hell Boy.

SUASANA mendadak menjadi horor. ‘Wadoouuhh’ ‘Arrrggghhhhhhh sakit pak’. Suasana kelas berubah mencekam. Seperti ada siksaan di alam sekolah.
            Dua minggu setelah MOS, gue sudah benar-benar sah sekolah disini. Banyak hal yang menarik gue alami, mulai dari guru-gurunya yang cantik kemudian yang santai sampai pada akhirnya gue bertemu dengan seonggok guru yang killer binti ganas.
            Ganas gak, soalnya guru yang satu ini sangat disegani oleh para muridnya, bahkan sangat dekat sekali ketika di luar jam sekolah. Tapi kalau sudah di dalam lingkungan sekolah, dia ganas, liar dan buas (gak kayak gitu juga sih sebenernya). Bisa di kategorikan seperti hulk yang tidak hijau.
            ‘Ya, bagus sih’ kata temen gue Joni.
            ‘Bagus, apanya yang bagus’ sahut gue setengah sewot
            ‘Ya, bagus lah. Mana ada guru yang kalo di luar dia deket sama murid, tapi kalo di lingkungan sekolah dia ganas, bahkan di takuti.
            ‘Justru itu’ gue mencoba ngotot ‘Kan aneh, kalo kita melihat hal seperti itu, atas dasar apa coba dia bisa ganas di sekolah, tapi kalo di luar jam sekolah malah deket sama siswa.
            ‘Ya, itu ciri khas dia kali’
            ‘Ya, ciri khas ya. Apa ciri khas seorang guru harus nyubit kulit tetek segala’ ? tanya gue.
Hening.

Gue bengong dengan mata melotot gede persis kaya ikan mas koki yang siap mau belajar masak. Gue rasa temen gue udah mulai ketuker sama profesi belajar mengajar dengan artis balikpapan (bukan papan atas).

PROBLEM gue sekarang adalah. Ehh. Tunggu dulu, ini bukan problem gue aja, ini problem para siswa laki-laki di sekolah ini. Sebagai laki-laki normal, kulit tetek gue harus di selamatkan kalau tidak, tiga tahun gue sekolah disini dada gue kempes dan hancurlah masa depan. Untuk lebih mudah memanggilnya, gue bisa bilang guru itu dengan sebutan “Hell boy”. Bukan merk sabun ya.
            Oke, sedikit penjelasan. Guru ini bermata pelajaran Bahasa Arab. Sudah mencetak 24 gol dari 18 pertandingan yang sudah di lakoninya. (ini kenapa jadi berita bola).
            Sesuai kata gue tadi, gue udah dua minggu sekolah disini, minggu pertama guru ini belum mencubit kulit dada gue atau para siswa laki-laki di kelas gue. Karena masih perkenalan. Hell boy masuk tiap hari selasa atau satu kali dalam seminggu. Di minggu pertama kemarin, Hell Boy sudah menulis beberapa Bahasa Arab di papan tulis, sampai pada akhirnya papan tulis itu terlalu kecil karena banyak sekali yang harus kami tulis, sampai-sampai gue belum selesai mencatat karena saking banyaknya tulisan keriting di papan tulis. Dan gue pinjam catatan temen sebangku gue yang ternyata dia belum selesai juga.
            Setelah Hell boy selesai mencatat di papan tulis, kemudian dengan suara keras dia berkata.
            ‘Minggu depan, semua yang ada di papan tulis ini di hafalkan’
‘Astagfirulloh’, secara refleks gue nyebut. Papan tulis di depan kelas, yang penuh huruf arab keriting itu dihafalkan semua. Ya semuanya.
            ‘Semuanya ya pak’ salah satu temen gue berteriak dari belakang
            ‘Iya, semua. Minggu depan sudah hafal semua, kalo tidak. Awas.’
Gue nelan air ludah. Gue manggut-manggut sejenak, di kelas gue ada siswa yang beragama non-muslim. Kalo semuanya ikut menghafal, berarti non-muslim juga ikut baca bahasa arab. Oke, masa gue kalah sama mereka. Hafalan Bahasa Arab ya. Hm. Seingat gue, gue cukup jago dalam soal menghafal. Contohnya gue hafal angka satu sampe seratus, lancar tanpa ada masalah dengan penyebutan kata. Bahasa Arab sih, ini terlalu gampang buat gue, ya terlalu gampang untuk seorang siswa yang gampangan.

MENURUT riset, kalo seseorang ada tugas dalam bentuk hafalan, menghafalah pada malam hari. Gue coba praktekin di malam hari, bukan hafal malah diserang nyamuk. Dan beberapa saat gue ngantuk.
            ‘Maktabun, maktabani. Meja’ jerit gue dari kamar
            ‘Kursiyun, kursyani. Kursi’
            ‘Madrosatun, mad.....’ ZzzzZzzzZZzzZzz
Gue sukses ketiduran.
            Ketahuilah saudara-saudara, menghafal dalam waktu satu minggu dengan hafalan yang tebal halamanya seperti buku panduan mengendarai jet pack, tidaklah cukup. Bahkan setahun pun tidak cukup. Hell boy keterlaluan. Kalau sudah seperti ini, tidak ada pihak yang harus di salahkan. Gue mau nyalahin Hell boy, dia guru, mau nyalahin bunda mengandung ya gak mungkinlah. Jangan salahkan bunda mengandung, tapi salahkan ayah yang....... Lo tau gue mau ngomong apa kan. ?

            Hari semakin mepet, besok udah hari Selasa. Gue megap-megap, nafas kembang kempis, langit kelap-kelip, lampu on off on off.
            Gue gak tau lagi harus ngapain, gue sudah mencoba untuk menghafal tapi, percuma. Gue gak hafal-hafal juga. Masya Allah.
            ‘Maktabun, maktabani. Meja’ jerit gue dari kamar
            ‘Kursiyun, kursyani. Kursi’
            ‘Madrosatun, mad.....’ ZzzzZzzzZZzzZzz
Gue sukses ketiduran. Lagi. Sempoa (bukan sumpah) gue gak hafal-hafal, gue udah mencoba berbagai usaha seperti menghitung domba, baca novel dan lain-lain. Tapi malah tambah ngantuk. Dan alhasil ketiduran. Gue juga bahkan mengingat perkataan Hell boy kemarin akibat tidak menghafal pelajaranya.
            ‘Iya, semua. Minggu depan sudah hafal semua, kalo tidak. Awas.’
Gue gak tau arti dari kata awas itu, atau mungkin dia menganjurkan untuk hati-hati kalau mau naik motor, atau arti dari kata awas dia adalah jangan lupa pake helm selagi berkendara khususnya roda dua, yang saat itu gue mulai ketuker sama profesi Polisi.

GAK ada yang bisa gue lakukan selain berharap tidak terjadi apa-apa di sekolah besok. Pengalaman gue soal hafal menghafal ternyata minim, ini hafalan bukan sembarang hafalan, yang gue hafal ini tulisan keriting khas Arab. gue rasa orang yang khatam pun sulit menghafal juga. Gue gak bohong, banyak banget yang harus di hafal.
            Temen baru gue yang gue dapat dikelas, Ferdy sempet kerumah gue sebelum menuju esok Selasa.
            ‘Gimana tur’ sapa dia lesu ‘udah hafal’ ?
            ‘Belum cuy, lo sendiri gimana’
            ‘Wayyyyyy, gila tu guru, hafalan panjang banget, gue rasa itu bukan hafalan deh, lebih kaya novel 7000 karakter’ keluh dia dan diakhiri dengan decak kagum atas panjangnya hafalan tersebut. Dan gue hanya bisa membalas dengan tertawa ringan.
            ‘Hahaha’ tawa gue mencoba meredam suasana canggung atas pembicaraan yang membahas hafalan tadi ‘Sama aja kaya gue, gue belum hafal’
            ‘Jadi gimana besok ?’
            Gue mencoba sok cool ‘Ya gue rasa temen-temen yang lain belum hafal juga, santai aja deh’ gue akhiri dengan pukulan kecil di dada gue.
Ferdi cuma manggut-manggut.

Pembicaraan kami selesai, gue coba menghafal untuk yang terakhir kalinya, sembari berharap tidak terjadi apa-apa di esok Selasa.
Gue udah coba berbagai usaha agar bisa hafal secepat mungkin, dan hafalan ini ternyata cukup ampuh untuk membuat kualitas tidur gue lebih baik. Hafalan ini seolah mempunyai obat bius, tidur gue menjadi lebih nyenyak karena banyaknya huruf keriting yang harus gue baca. Dan di hafal. Dan di ingat. Dan mati.
Gue tidur dengan wajah dibawah bantal. Berharap juga mata ini cepat tertutup hingga esok pagi tiba. Prustasi ? Jelas, ini akan menjadi minggu kedua gue di sekolah itu dan gue awali dengan kemungkinan di hukum karena tak menghafal tugas. Ya mungkin.
            Gue udah berencana untuk bangun di subuh hari, karena kata orang tua, kalau mau menghafal itu waktu subuh, tapi sebelum itu minum air putih dulu baru lanjut bacanya. Gue ingat itu dari kata-kata nenek gue. Gue gak peduli nenek gue tau dari mana, tanpa kompromi gue setel jam alarm HandPhone gue jadi jam 05.00 pagi. Kalau malam gue gagal menghafal, setidaknya subuh nanti gue harus bisa menghafal.
            Secercah harapan pun muncul dari benak gue.

AKHIRNYA Selasa pun tiba. Hari yang dinanti bagi orang yang selesai mengahafal, dan hari yang naas bagi gue yang belum hafal sampai sekarang. Karena dengan biadapnya gue tidur dengan mengabaikan alarm yang gue buat semalam. Alhasil gue bangun kepagian dari jam yang gue rencanakan. Oke gue putus asa, pagi ini gue bangun dengan susah payah, setelah dengan kampretnya gue gagal bangun subuh untuk menghafal.
            Dan setelah gue cek, ternyata letak permasalahanya adalah. Gue lupa mengatur nada ponsel gue menjadi lebih besar dari biasanya. Sebelum itu HandPhone gue menggunakan nada tingkat rendah. Pantas gue gak bangut kampret.

Gue keluar dari kamar dengan wajah tertutupi oleh handuk, berjalan menuju kamar mandi bak kura-kura yang baru patah punggung. Sontak membuat nenek gue bertanya-tanya akan kondisi gue saat itu.
            ‘Kenapa tur’ tanya Nenek gue yang lagi ngaduk kopi.
            ‘Gak ada apa-apa’ jawab gue mantap dengan handuk masih menutupi kepala. Yang saat itu gue sempat mampir dulu ke meja makan untuk nyeruput kopi gue yang di buat nenek, sembari berharap ngantuk gue hilang setelah gue bangun dengan gagalnya gue menghafal tugas.

Si ungu gue siap untuk menggendong gue ke sekolah hari ini (baca;motor). Dengan pakaian lengkap putih abu-abu plus dasi mengikat di leher gue, gue siap menjalani apa yang akan terjadi pagi ini. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
            Ternyata pagi ini gak sedingin yang gue bayangin. Penyesalan pun datang setelah gue gak bawa jaket. Tapi, tidak ada yang lebih menyesal dari gagalnya gue menghafal tugas. Beberapa langkah gue berjalan menuju kelas, gue melihat siswa-siswa yang lain dengan wajah yang ceria menyambut pelajaran pertama di pagi ini. Tidak seperti gue yang berwaja suram karena takut terjadi apa-apa pada diri gue setelah gue gak hafal sama sekali tugas itu. Kalian pasti akan merasakanya juga.
            Beberapa langkah lagi gue menuju kelas gue. Karena kelas gue kebetulan yang paling ujung, gue mendengar seperti suara dukun yang sedang menjampi-jampi pasienya. Kurang lebih suara yang gue dengar dari kejauhan seperti. Wesjuwesjuewjsjuwesjuhanhyyuiwjwsesokluh. Karena penasaran, gue mencoba mempercepat langkah gue menuju kelas. Semakin dekat, semakin dekat lagi dan yang gue lihat adalah.
            Segerombol manusia yang ternyata sedang menghafal tugas Bahasa Arab hari ini. Di kelas. Semuanya, termasuk yang non-muslim juga menghafal. Ternyata suara yang kaya mbah dukun itu adalah suara mereka yang sedang menghafal. Suara satu dengan suara yang lain saling bertabrakan sampai ada yang marah.
            ‘WOY, BERISIK. JANGAN KUAT-KUAT GUE MAU MENGHAFAL NI’
            ‘ADA JUGA LO YANG BERISIK. LO CARI TEMPAT LAIN SANA’
Gue gak nyangka, ternyata tugas ini bisa membuat orang jadi lebih emosi. Dan bukan tidak mungkin ada yang berkelahi karena satu tugas doang.
Hell boy benar-benar luar biasa.

Kelas memang berisik pagi ini. Tentu sebagai siswa pada umumnya yang sering membuat tugas di sekolah, gue mencoba membuka lahan menghafal di salah satu kursi yang gue pinjam untuk menghafal juga. Tapi, percuma. Gak bisa juga. Gue gak hafal juga.
            Ya lo bayangin sendiri, gimana mau konsentrasi menghafal kalau satu kelas semuanya menghafal juga. Dengan suara yang keras. Suara mereka beradu kencang. Seperti ada perlombaan paduan suara dengan nada abstrak. Gue yakin gak ada yang berhasil kalau begini terus.
            Sebagian orang bilang, kalau hari Selasa itu hari sial. Semoga orang itu salah dan orang itu yang mendapat kesialan.
            ‘Eh, lo udah hafal Bahasa Arab belum’ sapa teman gue Jansen dengan pukulan kecil di pundak gue.
            ‘Belum sen’ jawab gue lesu.
            ‘Weis, sama kita bro’ sambil mengangkat tangan kananya, seolah ingin tos dengan gue, dan dengan bodohnya, gue langsung menepuk tangan gue ke arah tangan dia ‘Tos’ kata Jansen.
Mungkin percakapan gue dengan Jansen lebih seperti dua orang siswa idiot yang sebenarnya tidak tau yang akan mereka hadapi.
            Temen gue yang satu itu memang rada idiot gitu. Kayaknya satu minggu gue sekolah disini bakal menjadi tiga tahun yang mengerikan untuk kedepanya.
            ‘Woy tur, lo udah hafal ?’ temen gue Ferdy nanya.
            ‘Belum bung’ jawab gue lesu.
Untungnya temen gue yang satu ini, lebih normal dibanding Jansen, karena Ferdy gak ngaja gue Tos bareng.

BEL masuk. Jam pertama adalah Bahasa Arab. Secercah harapan pun muncul dari benak gue. (semoga Hell Boy kepeleset di kamar mandi terus patah punggung dan gak jadi masuk) atau (semoga dia lupa kalau sebenarnya dia bukan guru Bahsa Arab tapi Bahsa Jerman). Kira-kira seperti itu harapan gue.
            Namun, harapan tinggalah harapan. Ternyata dia gak kepelset dan gak lupa kalau dia guru Bahasa Arab. Oke. Gue siap. Gue siap. Gue siap. Gue ulangi terus kata-kata itu sampai gak ada gunanya lagi. Dengan suara lantang bin keras.
            ‘Hah. Sudah hafal semua’ dengan suara keras persis kaya toa Masjid. Dan seisi kelas pun terdiam. Tidak banyak yang menjawab ‘belum’. Itu pun menyebut dengan bibir di kulum.
            ‘Loh. Kenapa diam. Ada yang hafal belum ?’ tanya Hell Boy sekali lagi. ‘Atau saya panggil satu persatu’ sambung dia, dan diiringi keluhan siswa sekelas termasuk suara gue tercampur disana.
            ‘Waduh, jangan pak, iya pak. Jangan pak. Gimana minggu depan aja pak’ tanpa pikir panjang Hell boy memanggil satu persatu siswa. Dengan suara lantang dia memanggil.
            ‘Budyansyah’ masih dengan suara keras. Dan orang yang di panggil pun ketar ketir keringat dingin.
            ‘Waduh. Mati gue. Gue boleh mati sekarang gak ?’ Budi mencoba menghibur diri.
            ‘Mana yang nama Budyansyah. Cepat maju atau saya yang kesan’ masih dengan suara keras. Gue rasa pagi ini Hell Boy sarapan toa punya sekolah.
            Tanpa pikir panjang, Budi pun maju kedepan dengan langkah terluntai-luntai.
            ‘Kamu sudah hafal Budi ?’ tanya Hell Boy sekali lagi. Dengan lesu Budi menjawab.
            ‘Belum pak.’ Dan tanpa pikir panjang tangan kanan seorang Hell Boy pun menuju dada Budi yang tepos, dengan cubitan sedikit ke arah tetek Budi. Dan  berkata ‘Makanya lain kali di hafal’. Suara Hell Boy tertutupi oleh erangan Budi yang kesakitan di daerah sekitar dada sampe tetek. ‘Arrggggggghhhhhhhhs sssssshhhshshshshs sakit pak’. Desis budi bak seokar ular yang baru patah leher sambil menggosok tangan ke arah tetek Budi yang kesakitan setelah mendapat cubitan kecil dari Hell Boy.

Melihat kondisi seperti Budi, gue mencoba berpikir eskrim (bukan ekstrim). Seandainya gue bisa berubah menjadi cewek dalam sekejap. Gue pasti selamat dari ancaman cubitan tetek dari Hell Boy. Gak perlu risau atas hukuman yang di terima ole para lelaki. Karena seorang guru laki-laki juga gak akan mungkin mencubit tetek perempuan. Dan di saat itu pula gue berpikir. Seandainya semua siswa disini isinya wanita semua, pasti tidak ada problem seganas ini yang mengharuskan dada membiru setelah belajar Bahsa Arab. Dan di saat itu juga gue berpikir lagi. Kayaknya gue nyesel terlahir sebagai cowok. Bagaimana tidak, semua wanita di kelas ini terlihat santai tanpa memikirkan tetek mereka di cubit.
            Ada beberpa cewek merespon dengan macam-macam perasaan. Ada yang jijik. Ada yang prihatin dan ada juga yang merasa simpatik melihat semua cowok di cubit teteknya.
            ‘Aduh. Sakit ya. Kasian’
            ‘Aww. Pasti sakit’ kata mereka yang berkelamin cewek.
Dan ketika nama gue di panggil, gue berpikir. Mungkin kalau gue ngondek mungkin Hell Boy gak perlu nyubit tetek gue. Tapi gue gagal.
            ‘Hah. Kamu Guntur Oktama’ masih dengan suara ganasnya.
            ‘Iya pak’ jawab gue lemah. (ya tuhan ambilah aku. Mati)
            ‘Belum hafal juga ?’
            ‘Bbe belum pak’ jawab gue. Dan tanpa pikir panjang Hell Boy langsung tanganya menuju dada gue dan mencubit dengan gigi atas dan gigi bawah Hell Boy saling beradu karena geram. Badan gue seolah mengikuti tangan dia, ke arah mana tangan itu pergi, dada gue pun juga ikut.
            Nasihat dia seolah tertutupi oleh suara erangan gue yang kesakitan. ‘Waadddaaaaaaoooouuh, sakit pak’ sambil menggosok-gosokkan tetek gue dengan tangan seolah rasa sakit itu berkurang. Pedih.

DAN pada akhirnya, semua siswa laki-laki pun berdiri semua di depan setelah mendapat hukuman dari sang Hell Boy. Gue dan yang lainya seolah mendapat hukuman ganda. Setelah tetek gue di cubit dengan kampretnya, gue pun harus berdiri lagi sampai jam pelajaran selesai. Bersama dengan siswa laki-laki yang lainya.
            Cubitan itu bahkan bukan Cuma sekali, tapi dua kali. Di kiri dan di kanan. Tidak sedikit yang menguluh bahwa cubitan Hell Boy mengenai puting mereka. Temen gue Robi bahkan masih sempat-sempatnya di balik kesusahan itu, dia sempat membanding-bandingkan dengan dada gue mana yang gede tanda cubitanya.
            ‘Eh, liat dada lo’ dengan suara mantap ‘Gila gue gede nih’
            ‘Mana, gedean gue tau’ jawab gue mantap juga ‘Nih lo lihat birunya ada dua, lo masih kecil’
            ‘Hahahaha’ tertawa besar dia mencoba mencairkan suasana ‘Gila tur, kita baru dua minggu sekolah disini, dada kita udah biru’
            ‘Iya Rob’ bisik gue ke dia ‘Tiga tahun kita disini, dada kita bakal kempes Rob, gimana nih’
            ‘Dada kita baka kapalan tur’
            ‘Maksud lo, di tetek kita bakal tumbuh kapal. Gitu ?’ tanya gue pura-pura bego.
            ‘Ya. Bisa jadi sih’ dan di akhiri ole tawa besar dia, seolah tertawanya itu mengindikasikan bahawa sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Ya. Kecuali kalau dia lagi mabok.


Sepertinya ini bakal menjadi awal dari kebodohan gue bersama teman-teman yang gue dapat di SMA N 10 Batang Hari. Dan di saat itu juga gue berharap Hell Boy akan kepeleset di kamar mandi dan patah punggung atau dia lupa sebenarnya dia bukan guru Bahsa Arab. Maka terhindarlah kami dari cubitan tetek dari Hell Boy.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More